Laman

Kamis, 17 Januari 2013


WISUDA KE IV SANTRIWAN SANTRI WATI

WISUDA KE IV SANTRIWAN SANTRI WATI, TAHUN 2012.


Ditengah hilir mudik kesibukan sehari - hari ,mereka masih menyempatkan saling tholabul ilmi untuk bekal kelak di akhirat nanti. Suasana nampak ramai dengan di iringi instrumen kybort dan mahalul qiyam para hadirin semua pada saat prosesi wisudawan dan wisudawati naik di panggung kehormatan bersama tim pewisuda dari MABIN TPQ AN-Nahdliyah PONPES LANGITAN Widang TUBAN.
Santri yang tergolong lulus sorotan Al-Qur'an sebanyak 18 santri terdiri dari putra dan putri.
 
Para hadirin yang ikut menyaksikan prosesi wisuda tersebut nampak begitu terharu melihat putra -putrinya yang di wisuda setelah menempuh tahap - tahap pelajaran yang mereka enyam dari bangku TPQ hingga lulus Diniyah, dan mendapat predikat santri khatam jenjang sorotan Al - Qur'an.

Rabu, 16 Januari 2013

Tips Sukses Ibadah Ramadhan

Tips Sukses Ibadah Ramadhan
Selasa, 17/08/2010 01:01
Secara lughah atau kebahasaan puasa berarti imsak atau menahan. Secara istilahi puasa berarti menahan diri dari segala yang membatalkannya, dari fajar sampai terbenam matahari. Secara hakiki puasa berarti menahan diri dari segala yang membatalkan puasa, dari fajar sampai terbenam matahari disertai menjaga anggota badan dari berbuat dosa.

Rasulullah SAW bersabda :

خمس يفطرن الصائم الكدب والغيبة والنميمة واليمين الكاذبة والنظر بشهوة

“Lima hal yang merusak orang puasa, yaitu bohong, gosip, mengadudomba, sumpah palsu dan melihat dengan syahwat.”

Berikut ini adalah ketentuan-ketentuan di bulan Ramadhan:

1. Bulan Ramadhan bulan penuh berkah. Pintu-pintu surga dibuka dan pintu-pintu neraka ditutup, syetan dibelenggu dan terdapat lailatul qadr. Rasulullah bersabda:

قد جاءكم رمضان شهر مبارك افترض الله عليكم فيه صيامه تغتح فيه ابواب الجنة وتغلق فيه ابواب النار وتغل فيه الشياطين فيه ليلة خير من الف شهر

“Telah datang kepada kalian bulan Ramadhan, bulan penuh berkah, Allah telah mewajibkan kalian berpuasa pada bulan itu, pada bulan itu dibuka pintu-pintu surga, ditutup pintu-pintu neraka dan syetan-syetan dibelenggu. Pada bulan itu pula terdapat lailatul qadr yang nilainya lebih baik dari 1.000 bulan.” (HR Ahmad)

2. Rasulullah SAW menyatakan, bahwa barang siapa merasa gembira dengan kedatangan bulan Ramadhan, Allah mengharamkan jasadnya dari jilatan api neraka (HR. Bukhari)

3. Dengan puasa Ramadhan dosa diampuni. Rasulullah bersabda yang artinya: “Barangsiapa saum Ramadhan karena iman dan mengharap pahala (dari Allah), diampuni dosa yang telah lalu. (HR Bukhari Muslim)

4. Dengan Qiyamu Ramadhan juga dosa diampuni. Sabda Rasul yang artinya: “Barangsiapa melakukan qiyamu Ramadhan karena iman dan mengharap pahala (dari Allah), ia diampuni dosa yang telah lalu. (HR Bukhari Muslim)

5. Puasa merupakan persermbahan khusus bagi Allah, dan di bulan Ramadhan pahala amal dilipatgandakan. Rasulullah bersabda yang artinya: “Setiap kebaikan dibalas 10 kali hingga 700 kali lipat, kecuali saum. Maka saum bagi-Ku. Oleh karena itu Akulah yang akan membalasnya.” (HR Bukhari Muslim)

6. Dalam bulan Ramadhan, pahala amal dilipatgandakan, ibadah wajib bernilai 70 kali wajib di luar Ramadhan, ibadah sunnat sama nilainya dengan  wajib di luar Ramadhan. Bahkan pada bulan Ramadhan terdapat satu malam (lailatul qadr) yang nilainya lebih baik dari 1.000 bulan.

7. Rasulullah menegaskan, bahwa bau mulut orang berpuasa, bagi Allah lebih harum dari aroma yang paling harum. (HR Bukhari Muslim)

8. Puasa bermanfaat untuk kesehatan. Rasulullah SAW bersabda, "Berpuasalah, kamu akan sehat." (HR Bukhari)

Tips Sukses Ibadah Ramadhan

Pada bulan Ramadhan, selain mendapat keuntungan diampuni dosa yang telah lampau sebagai keutamaan pahala puasa dan qiyamu Ramadhan, dalam bulan Ramadhan pun kita mendapat kesempatan meningkatkan pahala amal ibadah, karena pahalanya dilipatgandakan. Selepas Ramadalan kita diberi anugrah kembali ke fitrah ('idul fitri).

Namun sudah tentu, keistimewaan ini diperuntukkan hanya bagi orang yang berpuasa dengan benar dan memanfaatkan kesempatan Ramadhan dengan sebaik-baiknya. Sebaliknya, Rasulullah menyatakan, bahwa banyak orang berpuasa tidak mendapatkan manfaat dari puasanya, kecuali lapar dan haus.

Berikut tips sukses beribadah Ramadhan:

1. Agar puasa bermanfaat bagi kesehatan, lakukanlah praktek puasa Rasulullah sebagai berikut : 1) mengakhirkan makan sahur dan tidak berlebihan, 2) menyegerakan berbuka apabila datang waktu maghrib, sunnah dengan makanan yang manis (biasanya Rasulullah berbuka dengan 3 buah kurma), lalu shalat maghrib, baru dilanjutkan makan dengan tidak berlebihan, 3) melakukan qiyamu Ramadhan (tarawih). Kalau cara ini dilakukan, badan akan semakin sehat dan tidak akan merasakan kelelahan puasa.

2. Usahakan puasa kita termasuk kategori puasa khusus, yaitu di samping mencegah segala hal yang membatalkan puasa, juga mencegah dari hal-hal yang dapat merusak pahala puasa, yaitu marah, berkata ngelantur, bohong, menggunjing, sumpah palsu, mengadudomba (provokasi), memfitnah, bermusuhan dan melihat dengan syahwat serta melihat sesuatu yang mendorong lupa kepada Allah, menjaga telinga dari mendengar yang tidak baik, dan menjaga seluruh anggota badan dari perbuatan dosa.

3. Keberhasilan puasa sebagai metode pengendalian diri antara lain nampak dalam perilaku makan sahur dan berbuka, yaitu tidak berlebihan. Di samping akan membawa hikmah meningkatnya kesehatan, juga membawa manfaat akan mampu menahan diri untuk tidak mengambil milik orang lain. Jangankan milik orang lain yang haram, milik sendiri pun tidak digunakan untuk memenuhi dorongan hawa nafsu.

4. Setiap malam melakukan tarawih. Di samping mendapat keutamaan diampuni dosa, tarawih pun sangat bermanfaat bagi kesehatan, karena selama tarawih, tubuh kita melakukan metabolisme dalam keadaan badan bergerak, oleh karena itu upayakan tarawih 20 raka’at sebagaimana kesepakatan 4 madzhab.

5. Memperbanyak tadarus Al-Qur'an, i'tikaf dan dzikir.

6. Memperbanyak sedekah, terlebih-lebih memberi makanan untuk berbuka puasa (memberi makanan kepada seorang untuk berbuka puasa, mendapat pahala puasa satu hari)

7. Upayakan kita memperoleh keutamaan lailatul qadr, yaitu beribadah pada satu malam di bulan Ramadhan yang persisnya dirahasiakan. Dalam berbagai hadits, dijelaskan, kemungkinan datangnya lailatul qadr pada malam-malam ganjil di 10 malam akhir Ramadalan, terutama malam ke-27.

8. Perbanyak amal saleh, baik dalam hubungan dengan Allah maupun dalam hubungan dengan sesama manusia, karena pahalanya dilipatgandakan.

9. Bayar zakat fitrah sebelum shalat idul fitri.

10. Manfaatkan idul fitri untuk bersilaturahim dan saling memaafkan, sehingga kita bersih dari dosa dalam hubungan antar sesama manusia. Insya Allah dengan puasa dan tarawih, dosa dalam hubungan dengan Allah telah diampuni. Maka pada idul fitri, kita bagaikan bayi yang baru dilahirkan, tidak ada dosa sedikitpun. Amin.

Ust. Samhari
Wakil Katib PCNU Garut

Perintah Shalat Lima Waktu


Ubudiyyah 
FASAL TENTANG ISRA’ MI’RAJ (2)
Perintah Shalat Lima Waktu
Kamis, 24/05/2012 06:13
Dalam perjalanan Isra' Mi'raj, setelah melampaui Masjidil Aqsha, Nabi langsung diangkat naik sampai ke langit tujuh, lalu Sidratul Muntaha dan Baitul Ma’mur. Imam Al-Bukhari meriwayatkan, pada saat peristiwa Mi’raj, Nabi Muhammad SAW berada di Baitul Ma’mur, Allah SWT mewajibkannya beserta umat Islam yang dipimpinnya untuk mengerjakan shalat limapuluh kali sehari-semalam.

Nabi Muhammad menerima begitu saja dan langsung bergegas. Namun Nabi Musa AS memperingatkan, umat Muhammad tidak akan kuat dengan limapuluh waktu itu. ”Aku telah belajar dari pengalaman umat manusia sebelum kamu. Aku pernah mengurusi Bani Israil yang sangat rumit. Kembalilah kepada Tuhanmu dan mitalah keringanan untuk umatmu.”

Nabi Muhammad kembali menghadap Sang Rabb, meminta keringanan dan ternyata dikabulkan. Tidak lagi lipapuluh waktu, tapi sepuluh waktu saja. Nabi Muhammad pun bergegas. Namun Nabi Musa tetap tidak yakin umat Muhammad mampu melakukan shalat sepuluh waktu itu. ”Mintalah lagi keringanan.” Nabi kembali dan akhirnya memeroleh keringanan, menjadi hanya lima waktu saja."

Sebenarnya Nabi Musa masih berkeberatan dengan lima waktu itu dan menyuruh Nabi Muhammad untuk kembali meminta keringanan. Namun Nabi Muhammad tidak berani. “Aku sudah meminta keringanan kepada Tuhanku, sampai aku malu. Kini aku sudah ridha dan pasrah.”

Nabi Muhammad memang mengakui bahwa pendapat Nabi Musa AS itu benar adanya. Lima kali shalat sehari semalam itu masih memberatkan. Namun lima waktu itu bukankah sudah merupakan bentuk keringanan?! Demikianlah.

Shalat telah diwajibkan bagi Nabi Muhammad SAW dan para pengikutnya sejak diturunkannya firman Allah pada awal kenabian,

يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ. قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيلاً

Hai orang yang berselimut (Muhammad),),bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya)... (QS. Al-Muzzammil, 73:1-19)

Ini adalah petunjuk bahwa Rasulullah dan para pengikutnya yang baru berjumlah sedikit kala itu memiliki kewajiban untuk bangun pada tengah malam untuk menjalankan kewajiban. Menurut Ibnu Abbas, Ikrimah, Mujahid, al-Hasan, Qatadah, dan ulama salaf lainnya, kewajiban shalat malam dihapuskan setelah ayat ke 20 atau ayat terakhir dari surat al-Muzammil ini diturunkan oleh Allah SWT.

إِنَّ رَبَّكَ يَعْلَمُ أَنَّكَ تَقُومُ أَدْنَى مِن ثُلُثَيِ اللَّيْلِ وَنِصْفَهُ وَثُلُثَهُ وَطَائِفَةٌ مِّنَ الَّذِينَ مَعَكَ وَاللَّهُ يُقَدِّرُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ عَلِمَ أَن لَّن تُحْصُوهُ فَتَابَ عَلَيْكُمْ فَاقْرَؤُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ عَلِمَ أَن سَيَكُونُ مِنكُم مَّرْضَى وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِن فَضْلِ اللَّهِ

Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Qur'an. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah...

Pelaksanaan ibadah shalat menunjukkan bahwa Baitul Maqdis di Yerusalem merupakan salah satu tempat sangat penting posisinya dalam agama Islam sebagai kiblat pertama umat Islam. Kurang lebih 13 tahun lamanya Nabi Shalat dan para pengikutnya menghadap Baitul Maqdis, sebelum akhirnya Allah memerintahkan umat Islam untuk memindahkan kiblatnya ke Ka'bah di Makkah. Pemindahan arah kiblat ini terjadi di tengah-tengah ibadah shalat sedang berlangsung. Masjid tempat dilaksanakan shalat ketika perintah berpindah kiblat ini diturunkan hingga sekarang disebut sebagai Masjid Kiblatain (Masjid Dua Kiblat).

Allah senantiasa melibatkan Masjidil Aqsho dalam setiap perkembangan ajaran-ajaran seputar Shalat. Termasuk menghadap ke Baitul Maqdis sebelum dipindahkan kiblatnya ke Ka'bah. Perintah Shalat lima waktu diterima setelah Rasulullah dikaruniai singgah di Baitul Maqdis (QS. Al-Isra', 17:1) dalam perjalanan menuju Sidratul Muntaha.

Imam Syafi'i menyatakan, "Saya sangat suka beri'tikaf di Masjid (Baitul Maqdis), lebih dari Masjid manapun." Ketika ditanya alasannya, Beliau menjawab, "Di sinilah tempat berkumpul dan dikuburkannya beberapa Nabi Allah."



(Red: A. Khoirul Anam)

Waktu-waktu Shalat

Ubudiyyah 
FASAL TENTANG ISRA’ MI’RAJ (3)
Waktu-waktu Shalat
Sabtu, 26/05/2012 06:02
Jabir bin Abdullah RA menceritakan bahwa pada suatu siang sebelum Matahari benar-benar di atas titik atas tertinggi, Rasulullah Muhammad SAW kembali didatangi oleh malaikat Jibril AS seraya berkata kepadanya, ”Bangunlah Wahai Rasulullah dan lakukan shalat.”

Mendengar panggilan ini, Maka Nabi Muhammad pun segera melakukan shalat Dzuhur ketika Matahari telah mulai tergelincir.

Ketika bayang-bayang tampak telah mulai lebih panjang dari sosok asli benda-benda, malaikat Jibril berkata, ”Bangun dan lakukan shalat lagi.”

Demi mendengar perintah ini pun, Rasulullah SAW kemudian segera melakukan shalat Ashar ketika panjang bayangan segala benda melebihi panjang benda-benda. Kemudian waktu Maghrib menjelang dan Jibril berkata, ”Bangun dan lakukan shalat.” Maka beliau SAW melakukan shalat Maghrib ketika matahari terbenam."

Kemudian waktu Isya` menjelang dan Jibril berkata, ”Bangun dan lakukan shalat.” Maka Rasulullah SAW pun segera melakukan shalat Isya` ketika syafaq (mega senja merah) menghilang. Waktu sholat Isya’ ini menjadi waktu sholat terpanjang karena Jibril baru membangunkan kembali nabi Muhammad ketika fajar kedua telah mulai menjelang.

Kemudian waktu Shubuh menjelang dan Jibril berkata, ”Bangunlah wahai Rasulullah dan lakukanlah shalat.” Maka Rasulullah SAW melakukan shalat Shubuh ketika waktu fajar menjelang. (HR Ahmad, Nasa’i dan Tirmidzy)

Tentang waktu sholat Shubuh ini Abu Hurairah RA meriwayatkan bahwa suatu ketika Rasulullah SAW bersabda, ”Orang yang mendapatkan satu rakaat dari shalat shubuh sebelum tebit matahari, maka dia termasuk orang yang mendapatkan shalat shubuh. Dan orang yang mendapatkan satu rakaat shalat Ashar sebelum matahari terbenam, maka dia termasuk mendapatkan shalat Ashar.” (HR Muslim)



(Red: A. Khoirul Anam)

Rahasia Bilangan dalam Shalat


Ubudiyyah 
Rahasia Bilangan dalam Shalat
Rabu, 19/12/2012 12:23
Muhammad Ali at-Tirmidzi mengatakan bahwa shalat adalah tiang agama. Shalat merupakan perkara yang pertama kali difardhukan oleh Allah swt. kepada kaum muslimin.
Begitu pentingnya posisi shalat dalam Islam, sehingga pemaknaan atasnya tidak pernah habis. Seperti yang diungkapkan oleh Syaikh Nawawi al-Bantani mengenai rahasia bilangan dalam shalat.
Dalam kitabnya Syarah Sulamul Munajah menjelaskan adanya rahasia dibalik angka-angka dalam shalat. Lima waktu yang diwajibkan oleh Allah swt. kepada muslim menunjukkan rasa syukur atas nikmat yang diberikan-Nya atas lima indera perasa ‘panca indra’ sekaligus merupakan upaya menutup berbagai keburukannya.
Oleh karena itu dua rakaat shalat shubuh merupakan panjatan rasa syukur atas kedua bibr  yang terdapat dalam indera pengecap (mulut). Karena hanya dengan keduanyalah kita bisa merasai segala hal yang bersifat halus maupun kasar.
Sedangkan empat rakaat shalat dhuhur menunjuk pada rasa syukur kita atas indera penciuman (hidung) yang dapat mencium berbagai bau dari empat arah. Dengan demikian empat rakaat dhuhur sekalijgus dapat dijadikan sebagai semangat menutup keburukan yang datang dai empat arah itu juga.
Empat rakaat shalat ashar merupakan apresiasi manusia rasa syukur atas indera pendengaran (telinga) yang dapat menerima berbagai jenis suara dari empat arah. Adapun tiga raka’at maghrib menunjukkan rasa syukur manusia atas kemampuan melihat yang datang dari tiga arah; depan, kanan dan kiri. Sedangkan penglihatan kearah belakang tidak mungkin bisa.
Adapaun empat rakaat shalat isya’ merujuk pada rasa syukur manusia atas nikmat atas empat macam rasa; dingin, panas, pahit dan manis Demikianlah rahasia angka yang berhubungan dengan rakaat shalat.

Dasar Iman dan Islam


Ubudiyyah 
MBAH WAHAB NGAJI AQOID (3)
Dasar Iman dan Islam

Rabu, 07/11/2012 12:30
Iman didirikan di atas enam perkara; 1) Beritiqad (percaya) pada adanya Tuhan Allah ta’ala yang Esa. 2) Beritikad (percaya) pada adanya malaikat Allah Ta’ala. 3) Beritikad (percaya) pada adanya kitab-kitab Allah Ta’ala. 4) Beritikad (percaya) pada adanya utusan-utusan AllahTa’ala. 5) Beritikad (percaya) pada adanya hari kiamat, ialah hari rusaknya alam dunia ini. 6) Beritikad (percaya) bahwa adanya baik dan buruk itu ciptaan Allah Ta’ala.Adapun dalil keenam dasar iman di atas ini ialah sabda Nabi kita Muhammad saw yang diriwayatkan oleh sahabat Umar ra. sebagai yang terkutip oleh Imam Nawawi di dalam kitab arbain, ketika Gusti Nabi Muhammad saw diminta menerangkan apakah iman itu? lantas beliau bersabda
 أن تؤمن بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الأخر وتؤمن بالقدر خيره وشره
Berimanlah kamu kepada Allah dan malaikat-Nya dan kitab-kitab-Nya dan utusan-utusan-Nya dan hari Qiamat dan imanlah kamu pada kepastian Allah dalam baiknya dan buruknya.
Oleh karenanya, barang siapa yang beriman tetapi tidak berdasar pada enam hal tersebut, maka imannya tidak berguna dan tidak menghasilkan apa-apa kecuali berdiam selamanya di dalam siksa neraka.
Sedangkan Islam didasarkan pada lima perkara; 1) Mengucapkan dua kalimat syahadat yaitu
أشهد أن لااله الاالله واشهد ان محمدا رسول الله
Aku ber-i’tikad bahwa sesungguhnya tiada Tuhan melainkan Allah, dan aku ber-I’tikad bahwa Nabi Muhmmad itu utusan Allah.
Bagi orang yang tidak bisa mengucapkan syahadat dengan bahasa arab maka cukuplah mengucap syahadat dengan bahasanya sendiri, asal saja artinya bersetuju dengan syahadat bahasa arab tersebut. Pada dasarnya kewajiban mengucap syahadat sebagai dasar Islam itu sekali selama hidup, asal saja sesudahnya tidak pernah murtad.
2. Mendirikan sembayang (shalat) lima waktu. perlu diingat bahwasannya sembayang (shalat) lima waktu inilah tanda keislaman yang kelihatan tiap-tiap hari, dan inilah yang kelihatan membedakan antara orang Islam dengan lain Islam, sebagaimana Gusti Nabi Muhammad SAW bersabda:
 العهد الذى بيننا وبين الكفر الصلاة فمن ترك الصلاة فقد كفر
Menurut Imam Syafi’i sabda ini berartu, bahwa perjanjian yang membedakan antara kita orang Islam dan orang kufur ialah sembahyang (shalat), maka siapa orang yang meninggalkan sembahyang (shalat), maka sungguh ia adalah orang kufur: Menurut Imam Hambali bahwa orang yang sengaja meninggalkan sembahyang (shalat), niscaya ia menjadi kufur. Jadi apabila dia mati dalam keadaan tersebut, maka mayitnya tidak harus diurus secara Islam, artinya tidak dishalati atau dikubur di tanah kuburan Islam.
3) Dasar Islam yang ketiga ialah memberi zakat. Jangan lupa bahwa zakat itu ada ada beberapa bentuk; zakat fitrah, zakat tanaman (azzoeroe’), zakat mas dan perak, zakat hewan ternak (mawasyi), Zakat dagangan (tijaroh) dan lain sebagainya
4) Dasar yang ke empat yaitu puasa setiap bulan Ramadhan.
5) Dasar yang ke lima yaitu melaksanakan ibadah haji, apabila kuasa dan cukupnya bekal dan amanya perjalanan dan sempat waktunya. Haji yang wajib hanya sekali dalam seumur hidup.
Adapun asal dalil lima dasar Islam tersebut ialah sabda Gusti Nabi Muhammad saw.  yang diriwayatkan oleh Sayyidina Umar r.a  sebagai terkutip oleh Imam Nanawi di dalam kitab arbain-nya begini bunyinya:
 الاسلام أن تشهد ان لااله الاالله وان محمدا رسول الله وتقيم الصلاة وتؤتى الزكاة وتصوم رمضان وتحج البيت ان استطعت اليه سبيلا
Bahwa islam harus bersyahadatlah kalian, sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya Muhammad itu utusan Allah, dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat dan puasalah kamu di bulan Ramadhan dan hajilah ke Baitullah jikalau kuasa perjalanan.    
Sumber:  Oetusan Nahdlatul Oelama, No1. Tahun ke.1
http://petunjukbudidaya.blogspot.com/2012/10/berita-pertanian_25.html

Free Blog Content

Hukum Memberikan Daging Qurban Kepada Non Muslim

Banyak pertanyaan yang diajukan mengenai hukum memberikan daging qurban kepada non muslim. Seyogyanya penjelasan berikut ini bisa menjadi pemuas dahaga, supaya kita sebagai muslim berhati-hati dalam hal berqurban. Banyak perbedaan para ulama’ dalam mensikapi masalah ini, diantara mereka ada yang mengatakan itu boleh-boleh saja, ada yang berpendapat makruh dan ada pula yang berpendapat itu rukhsoh (keringanan). Disini ada beberapa pendapat di kalangan jumhur ulama, diantaranya sebagai berikut: Al Hasan dan Abu Tsaur berpenapat itu adalah rukhsoh (keringanan) Imam Malik berpendapat boleh tapi jika diberikan kepada selain mereka adalah lebih baik. Imam Al Laits menyebutkan hal itu adalah makruh namun jika dimasak lalu diberikan kepada mereka tidak mengapa. Ibnu Qudamah berpendapat hal itu diperbolehkan Karena ibadah qurban termasuk dalam shodaqoh tathawu’. Pendapat yang sama juga ada dalam Fatawa Lajnah Daimah. Kesimpulan dari pembahasan ini: Memberikan daging kepada orang kafir itu boleh dengan catatan dia kafir dzimmi (orang kafir yang berada dalam lindungan daulah isalamiyah karena telah memberikan jizyah sebagai bukti ketundukan dia) atau mu’ahad (orang kafir yang mengadakan perjanjian damai dengan kaum muslimin) bukan kafir harbi (diperangi). Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah surat Al Muntahanah ayat 8, yang Artinya : Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (QS. 60:8). Begitu juga begitu juga perintah nabi kepada Asma’ Binti Abi Bakar pada masa damai untuk tetap memberi harta kepada ibunya walau dalam keadaan musyrik. Sehingga boleh bagi kita memberikan makan kepada orang kafir mu’ahad (yang terikat perjanjian yaitu yang tunduk kepada negara Islam) dan tawanan dari daging qurban, dan boleh memberikannya karena kefaqirannya, atau kekerabatannya atau karena tetangga, atau untuk mengambil hatinya (supaya masuk Islam) karena hewan qurban merupakan ibadah pada penyembelihannya sebagai qurban karena Allah, dan ibadah kepada-Nya. Dibagi diluar daerah Menurut Syeikh Ali As Sabramalisi : tidak boleh membawa daging qurban keluar daerah karena yang paling berhak adalah orang-orang disekelilingnya. Sedangkan menurut penulis Al Ifshah ‘Ala Masailil Idhah dan Fiqhus Sunnah (Sayyid Sabiq) boleh dibagi di luar daerah berdasarkan riwayat Nabi ketika beliau mengirim daging qurban dari Madinah menuju Mekah. Adapun dagingnya, maka yang paling utama adalah yang berqurban memakan sepertiganya, memberikan sepertiganya kepada kerabat, tetangga dan teman-temannya, dan bersedekah dengan sepertiganya lagi untuk kaum faqir, jika dia melebihkan atau mengurangi dari bagian-bagian ini, atau mencukupi dengan sebagiannya maka tidak apa-apa, dalam hal ini ada kelapangan. Dan tidak boleh memberikan daging qurban kepada musuh (seperti yang telah dikatakan sebelumnya dengan Kafir Harbi) karena seharusnya kita mematahkan musuh dan melemahkannya tidak membantu dan menguatkannya dengan sedekah. Wallohu A’lam Referensi: - Fatwa-fatwa Qurban, Syaikh Muhammad Shalih Al Utsaimin; Syaikh Abdul Aziz Abdullah Bin Baz, Majmu’ Fatawa, Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Jilid 6 hal. 385 - Al Mughni, Ibnu Qudamah. - Fatwa Lajnah Daimah Lilbuhus Al Islamiyah.

Hukum Berkurban untuk Orang yang Sudah Meninggal

Hukum berkurban bagi orang yang sudah meninggal, secara garis besar ada tiga bentuk, yakni : [1]. Orang yang meninggal bukan sebagai sasaran qurban utama namun statusnya mengikuti qurban keluarganya yang masih hidup. Contohnya, seseorang menyembelih seekor qurban untuk dirinya dan ahli baitnya, baik yang masih hidup dan yang telah meninggal. Demikian ini boleh, dengan dasar sembelihan qurban Nabi saw untuk dirinya dan ahli baitnya (keluarganya), dan di antara mereka ada yang telah meninggal sebelumnya. Sebagaimana dalam hadits dari Aisyah, beliau berkata, yang artinya: “Sesungguhnya Rasulullah saw meminta seekor domba bertanduk, lalu dibawakan untuk disembelih sebagai qurban. Lalu beliau berkata kepadanya (Aisyah), “Wahai Aisyah, bawakan pisau”, kemudian beliau saw berkata: “Tajamkanlah dengan batu”. Lalu ia melakukannya. Kemudian Nabi saw mengambil pisau tersebut dan mengambil domba, menidurkannya dan menyembelihnya dengan mengatakan: “Bismillah, wahai Allah! Terimalah dari Muhammad, keluarga Muhammad dan dari umat Muhammad,” kemudian menyembelihnya” [HR. Muslim]. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata: “Diperbolehkan menyembelih qurban seekor kambing bagi ahli bait, isteri-isterinya, anak-anaknya dan orang yang bersama mereka, sebagaimana dilakukan para sahabat” [Majmu Al-Fatawa (23/164)]. Sehingga seseorang yang menyembelih qurban seekor domba atau kambing untuk dirinya dan ahli baitnya, maka pahalanya dapat diperoleh juga oleh ahli bait yang dia niatkan tersebut, baik yang masih hidup atau yang telah meninggal. Jika tidak berniat baik secara khusus atau umum, maka masuklah semua ahli bait yang termaktub dalam ahli bait tersebut, baik secara adat maupun bahasa. Ahli bait dalam istilah adat, yaitu seluruh orang yang di bawah naungannya, baik isteri, anak-anak atau kerabat. Adapun menurut bahasa, yaitu seluruh kerabat dan anak turunan kakeknya, serta anak keturunan kakek bapaknya. [2]. Menyembelih qurban untuk orang yang sudah meninggal, disebabkan orang yang sudah meninggal itu telah bernazar atau berwasiat untuk melakukan qurban sebelum meninggalnya. Dalam kondisi yang kedua ini maka para ahli warisnya wajib menunaikannya walaupun diri mereka belum pernah melakukan penyembelihan kurban untuk diri mereka sendiri. Ada riwayat yang berasal dari Ibnu Abbas bahwa Sa’ad bin Ubadah meninta fatwa kepada Rasulullah saw dan berkata, ”Sesungguhnya ibuku telah meninggal dan ia masih memiliki tanggungan nazar namun tidak sempat berwasiat.” Maka Rasulullah saw bersabda, “Tunaikanlah untuknya.” (HR. Abu Daud) . Disebutkan dalam kitab ‘Al Muwattho’ dan selainnya bahwa Sa’ad bin Ubadah pergi menemui Nabi saw dan berkata kepadanya, ”Sesungguhnya ibuku berwasiat, beliau (ibuku) mengatakan, ’Hartanya harta Saad dan dia meninggal sebelum menunaikannya.’ Kemudian Sa’ad mengatakan, ’Wahai Rasulullah apakah jika aku bersedekah baginya akan bermanfaat untuknya? Beliau saw menjawab. ’Ya.” Kandungan dari hadits itu adalah menunaikan hak-hak yang wajib terhadap orang yang sudah meninggal dan jumhur ulama berpendapat bahwa siapa yang meninggal dan masih memiliki tanggungan nazar harta maka wajib ditunaikan dari pokok harta yang dimilikinya jika ia tidak berwasiat kecuali jika nazar itu terjadi disaat sakit menjelang kematiannya maka dari sepertiga hartanya. Sementara para ulama madzhab Maliki dan Hanafi mensyaratkan orang itu berwasiat. (Nailul Author juz XIII hal 287 – 288, Maktabah Syamilah) Penyembelihan hewan kurban bisa menjadi wajib dikarenakan nazar, sebagaimana hadits Rasulullah saw,”Barangsiapa yang telah bernazar untuk menaati Allah maka hendaklah ia menaati Allah.” (HR. Bukhori Muslim) dan juga firman Allah, ”Dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka.” (QS. Al Hajj: 29) bahkan apabila orang yang melakukan nazar itu meninggal dunia, maka pelaksanaan nazar yang telah diucapkan sebelum meninggal dunia boleh diwakilkan kepada orang lain. Hal yang perlu diingat adalah bahwa daging sembelihan yang disebabkan melaksanakan nazar tidak boleh dimakan oleh orang yang berkurban sama sekali, sebagaimana pendapat para ulama madzhab Hanafi dan Syafi’i yang berbeda dengan pendapat para ulama madzhab Hambali bahwa disunnahkan memakan sembelihan darinya, yaitu sepertiga dimakan, sepertiga dibagikan kepada karib kerabat dan sepertiga disedekahkan. (Fatawa al Azhar juz IX hal 313, Maktabah Syamilah) [3]. Menyembelih qurban bagi orang yang sudah meninggal, bukan sebagai wasiat dan juga tidak ikut kepada yang hidup, yang ditujukan sebagai shadaqah terpisah dari yang hidup. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat: Pertama, sebagian ulama menganggap ini sebagai satu hal yang baik dan pahalanya bisa sampai kepada mayit, sebagaimana sedekah atas nama mayit (Fatwa Majlis Ulama Saudi no. 1474 & 1765). Para ulama Hanafi dan Hambali berpendapat, diperbolehkan berqurban untuk orang yang sudah meninggal, seakan-akan orang itu berqurban untuk orang yang masih hidup seperti halnya bershodaqoh dan memakannya sedangkan pahalanya bagi si mayit. (Al Fiqhul Islami Wa Adillatuhu, juz IV hal.2743 – 2744) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata : “Diperbolehkan menyembelih qurban bagi orang yang sudah meninggal sebagaimana diperolehkan haji dan shadaqah untuk orang yang sudah meninggal. Menyembelihnya di rumah dan tidak disembelih qurban dan yang lainnya di kuburan” [Majmu Al-Fatawa (26/306)]. Kedua, sebagian ulama menyatakan tidak diperbolehkan. Tidak ada riwayat bahwasanya beliau berqurban atas nama Khadijah, Hamzah, atau kerabat beliau lainnya yang mendahului beliau saw . Para ulama Syafi’i berpendapat bahwa tidak diperbolehkan bagi seseorang berqurban untuk orang lain tanpa seidzinnya, tidak juga untuk orang yang sudah meninggal apabila ia tidak mewasiatkannya berdasarkan firman Allah swt: “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya,” (QS. An Najm : 39) . Dan jika orang yang sudah meninggal itu mewasiatkannya maka diperbolehkan, hal itu dikarenakan wasiatnya, kemudian seluruh (sembelihannya itu) wajib disedekahkan untuk orang-orang miskin. Para ulama Maliki berpendapat makruh bagi seseorang berqurban untuk orang yang sudah meninggal dunia jika orang itu tidak menyebutkan (meniatkannya) sebelum kematiannya, dan jika ia meniatkannya namun bukan nadzar maka disunnahkan bagi para ahli warisnya untuk melaksanakannya. (Al Fiqhul Islami Wa Adillatuhu, juz IV hal.2743 – 2744) Wallahu A’lam Bishshowab

ADAB MURID TERHADAP GURU

Sesungguhnya adab yang mulia adalah salah satu faktor penentu kebahagiaan dan keberhasilan seseorang. Begitu juga sebaliknya, kurang adab atau tidak beradab adalah alamat (tanda) jelek dan jurang kehancurannya. Tidaklah kebaikan dunia dan akhirat kecuali dapat diraih dengan adab, dan tidaklah tercegah kebaikan dunia dan akhirat melainkan karena kurangnya adab. (Madarijus Salikin, 2/39)Di antara adab-adab yang telah disepakari adalah adab murid kepada syaikh atau gurunya. Imam Ibnu Hazm berkata: “Para ulama bersepakat, wajibnya memuliakan ahli al-Qur’an, ahli Islam dan Nabi. Demikian pula wajib memuliakan kholifah, orang yang punya keutamaan dan orang yang berilmu.” (al-Adab as-Syar’iah 1/408) Berikut ini beberapa adab yang selayaknya dimiliki oleh penuntut ilmu ketika menimba ilmu kepada gurunya. Sebagai nasehat bagi penulis, selaku seseorang yang masih belajar dan nasehat bagi saudara-saudara kami seiman yang sedang dan ingin menimba ilmu. Allohul Muwaffiq. 1. IKHLAS SEBELUM MELANGKAH Pertama kali sebelum me­langkah untuk menuntut ilmu hendaknya kita berusaha selalu mengikhlaskan niat. Sebagaimana telah jelas niat adalah fak­tor penentu diterimanya sebuah amalan. Ilmu yang kita pelajari adalah ibadah, amalan yang mu­lia, maka sudah barang tentu butuh niat yang ikhlas dalam menjalaninya. Belajar bukan karena ingin disebut sebagai pak ustadz, ?rang alim atau ingin meraih ba-iian dunia yang menipu. Dalil akan pentingnya ikhlas beramal di antaranya firman Allah: وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاء Padahal mereka tidakdisuruh kecuali supaya menyembah Alloh dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya dalam(menjalankan) agama yang lurus… (QS. al-Bayyinah [98]: 5) Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: Barangsiapa yang menuntut ilmu untuk membantah orang bodoh, atau berbangga di hadapan ulama atau mencari perhatian manusia, maka dia masuk neraka. (HR. Ibnu Majah 253, Syaikh al-Albani menyatakan hadits ini hasan dalam al-Misykah 225) Imam ad-Daruqutni berkata: “Dahulu kami menuntut ilmu untuk selain Alloh, akan tetapi ilmu itu enggan kecuali untuk Alloh.” (Tadzkiratus Sami hal. 47, lihat Ma’alim fi Thoricj Tholibil llmihal. 20)[ii] Imam asy-Syaukani berkata: “Pertama kali yang wajib bagi seorang penuntut ilmu adalah meluruskan niatnya. Hendaklah yang tergambar dari perkara yang ia kehendaki adalah syariat Alloh, yang dengannya diturunkan para Rosul dan al-Kitab. Hendaklah penuntut ilmu membersihkan dirinya dari tujuan-tujuan duniawi[iii], atau karena ingin inencapai kemuliaan, kepemimpinan dan Iain-lain. Ilmu ini mulia, tidak menerima selainnya.” (Adabut Tholab wa Muntaha al-Arab hal. 21) Apabila keikhlasan telah hilang ketika belajar, maka amalan ini (menuntut ilmu) akan berpindah dari keutamaan yang paling utama menjadi kesalahan yang paling rendah!. (at-Ta’liq as-Tsamin hal. 18) 2. JANGAN MENCARI GURU SEMBARANGAN Ibnu Jama’ah al-Kinani berkata: “Hendaklah penuntut ilmu mendahulukan pandangannya, istikhoroh kepada Alloh untuk memilih kepada siapa dia berguru. Hendaklah dia memilih guru yang benar-benar ahli, benar-benar lembut dan terjaga kehormatannya. Hendaklah murid memilih guru yang paling bagus dalam mengajar dan paling ba­gus dalam memberi pemahaman. Janganlah dia berguru kepada orang yang sedikit sifat waro’nya atau agamanya atau tidak punya akhlak yang bagus.” (Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim hal. 86) Bukan sebuah aib apabila kita menuntut ilmu dari orang alim yang masih muda. Imam Ibnu Muflih berkata: “Fasal mengam­bil ilmu dari ahlinya sekalipun masih berusia muda.” (al-Adab asy-Syari’ah 2/214) Sahabat Abdulloh bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Aku dahulu membacakan ilmu kepada beberapa orang muhajirin, di antara mereka ada Abdurrahman bin Auf.” (HR. Bukhori 6442) Imam Ibnul Jauzi rahimahullah ber­kata: “Dalam hadits ini terdapat peringatan akan perlunya mengambil ilmu dari ahlinya sekalipun masih berusia muda atau sedikit kedudukannya.” (Kasyful Musykil, lihat Adab at-Tatalmudz hal. 16) Imam Ibnu Abdil Barr berka­ta: “Orang yang bodoh itu tetap dikatakan rendah sekalipun dia seorang syaikh. Dan orang yang berilmu itu tetap mulia sekalipun masih muda.” (Jami’ Bayanil Ilmi, Adab at-Tatalmudz hal. 16) Faedah: Orang berilmu tetap di­katakan alim sekalipun masih muda. Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Perhatikanlah, agamamu. Lihatlah dari mana kamu mengambil ilmu. Ambillah ilmu dari orang yang istiqomah, jangan kamu mengambilnya dari orang yang menyimpang.” (al-Kifayah oleh Khothib al-Baghdadihal. 149) Syaikh Bakr Abu Zaid ber­kata: “Waspadalah anda dari -Abu Jahl- ahli bid’ah yang me­nyimpang aqidahnya. Yang menjadikan hawa nafsu sebagai hakim dia sebut akal. Berpaling dari dalil. Dia lebih berpegang dengan yang dho’if dan menjauh dari yang shohih.” (Hilyah Tholibil Ilmi. Lihat at-Ta’liq as-Tsamin hal. 204) Akan tetapi jika seorang muslim terpaksa belajar kepada ahli bid’ah semisal dia tidak mendapati ahli sunnah maka perkaranya lain lagi. Syaikhul Islam mengatakan, “Apabila ada udzur untuk mengerjakan kewajiban berupa ilmu atau jihad kecuali kepada orang yang ada bid’ahnya, yang mana bahayanya lebih kecil daripada meninggalkan kewajiban itu, maka meraih kewajiban dengan melakukan kejelekan yang ringan hal itu lebih baik daripada sebaliknya. Oleh karena itu masalah ini perlu perincian.” (Majmu’ Fatawa 28/212) 3. M ENGAGUNGKAN GURU Mengagungkan orang yang berilmu termasuk perkara yang dianjurkan. Sebagaimana Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda; Bukanlah termasuk golongan kami orang yang tidak menghorrmti orang yang tua, tidak menyayangi yang muda dan tidak mengerti hak ulama kami. (HR. Ahmad 5/323, Hakim 1/122. Dishohihkan oleh al-Albani dalam Shohih Targhib 1/117) Imam Nawawi rahimahullah berka­ta: “Hendaklah seorang murid memperhatikan gurunya dengan pandangan penghormatan. Hen­daklah ia meyakini keahlian gu­runya dibandingkan yang lain. Karena hal itu akan menghantarkan seorang murid untuk banyak mengambil manfaat darinya, dan lebih bisa membekas dalam hati terhadap apa yang ia dengar dari gurunya tersebut.” (al-Majmu’ 1/84) Bolehkah mencium kepala atau tangan guru? Sering kita jumpai seorang murid mencium tangan gurunya sebagai bentuk penghormatan dan pengagungan. Apakah perkara ini dibolehkan? Shuhaib Maula Ibnu Abbas berkata: “Aku melihat sahabat Ali mencium tangan dan kedua kaki al-Abbas.” (HR. Bukhori dalam al-Adab al-Mufrod no. 976) Imam Ibnu Muflih berkata: “Dibolehkan berpelukan, men­cium tangan dan kepala, apabila karena perkara agama, atau demi pemuliaan dan penghormatan dan aman dari syahwat. Dhohirnya hal ini tidak dibolehkan apabila karena urusan dunia.” (al-Adab asy-Syar’iah 2/377) Perhatian: Apabila seseorang memulai dengan menjulurkan tangannya kepada manusia agar mereka mencium, maka ini terlarang secara tegas tanpa ada perselisihan dan siapa pun dia orangnya. Berbeda apabila orang yang mencium dia yang memulai untuk mencium (maka boleh).” (Adab at-Tatalmudz hal. 21) 4. AKUILAH KEUTAMAAN GURUMU Khothib al-Baghdadi berkata: “Wajib bagi seorang murid untuk mengakui keutamaan gurunya yang faqih dan hendaklah pula menyadari bahwa dirinya banyak mengambil ilmu dari gurunya.” (al-Faqih wal Mutafaqqih 1/196) Ibnu Jamaah al-Kinani ber­kata: “Hendaklah seorang mu­rid mengenal hak gurunya, jangan dilupakan semua jasanya.” (Tadzkiratus Sami’ hal. 90) 5. DO’AKAN KEBAIKAN KEPADA GURU Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda; Apabila ada yang berbuat baik kepadamu maka balaslah denganbalasan yang setimpal. Apabila kamu tidak bisa membalasnya, maka doakanlah dia hingga engkau memandang telah mencukupi untuk membalas dengan balasan yang setimpal.” (HR. Abu Dawud 1672, Nasa’i 1/358, Ah­mad 2/68, Hakim 1/412 Bukhori dalam al-Adab al-Mufrod no. 216, Ibnu Hibban 2071, Baihaqi 4/199, Abu Nu’aim dalam al-Hilyah 9/56. Lihat as-Shohihah 254) Imam Abu Hanifah berkata: “Tidaklah aku sholat sejak kematian Hammad kecuali aku memintakan ampun untuknya dan orang tuaku. Aku selalu me­mintakan ampun untuk orang yang aku belajar darinya atau yang mengajariku ilmu.” (Mana-qib Imam Abu Hanifah. Lihat Adab at-Tatalmudz hal. 28) Ibnu Jama’ah berkata: “Hen­daklah seorang penuntut ilmu mendoakan gurunya sepanjang masa. Memperhatikan anak-anaknya, kerabatnya dan menunaikan haknya apabila telah wafat.” (Tadzkiroh Sami’ hal. 91) 6. RENDAH DIRI KEPADA GURU Ibnu Jama’ah rahimahullah berkata: “Hendaklah seorang murid mengetahui bahwa rendah dirinya kepada seorang guru adalah kemuliaan, dan tunduknya adalah kebanggaan.” (Tadzkiroh Sami’ hal. 88) Sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma de­ngan kemuliaan dan kedudukannya yang agung, beliau men­gambil tali kekang unta Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu seraya berkata: “Demikianlah kita diperintah untuk berbuat baik kepada ulama.” (as-Syifa 2/608) al-Khothib telah meriwayatkan dalam kitab Jami’nya bahwa Ibnul Mu’taz berkata: “Orang yang rendah diri dalam belajar adalah yang paling banyak ilmunya sebagaimana tempat yang rendah adalah tempat yang pa­ling banyak airnya.” (Adab at-Tat­almudz hal. 32) Peringatan. Ibnu Jama’ah al-Ki­nani berkata rahimahullah: “Hendaknya seorang penuntut ilmu tidak hanya mencukupkan diri untuk belajar kepada guru-guru yang populer saja, karena hal itu dinilai oleh al-Ghozali termasuk kesombongan dan kebodohan. Ketahuilah bahwa kebenaran adalah seperti barang hilang yang dicari oleh seorang mukmin, dia akan mengambilnya dimana pun dia mendapatkannya dan berterima kasih kepada orang yang memberikan kepadanya. Demikian pula seorang penuntut ilmu, dia akan lari dari kebodohan seba­gaimana dia lari dari singa. Dan orang yang lari dari singa, dia ti­dak akan peduli siapa pun orang­nya yang menunjukkan jalan keluar kepadanya.” (Tadzkiroh Sami’ fi Adabil Alim wal Muta’allim hal. 87) 7. MENCONTOH AKHLAKNYA Hendaklah seorang penun­tut ilmu mencontoh akhlak dan kepribadian guru. Mencontoh kebiasaan dan ibadahnya. (Tadz­kiroh Sami’ hal. 86) Qoshim bin Salam menceritakan: “Adalah para murid Ibnu Mas’ud mereka belajar kepada­nya untuk melihat akhlak, ke­pribadian dan kemudian menirunya.” (Adab at-Tatalmudz hal. 40) Imam as-Sam’ani menceritakan bahwa majelis Imam Ahmad bin Hanbal dihadiri lima ribu orang. Lima ratus orang menulis sedangkan selainnya hanya ingin melihat dan meniru adab dan akhlak Imam Ahmad.” (Siyar AlamNubala11/316) Perhatian. Imam asy-Syathibi berkata: “Walhasil, hendaklah seseorang tidak mengikuti ularna kecuali yang terpercaya menurut kaca mata syar’i. Yang selalu menegakkan hujjah, paling paham dengan hukum syar’i secara umum maupun terperinci. Maka acapkali yang diikuti tidak sesuai dengan syar’i dalam sebagian masalah, maka janganlah dijadikan hakim dan jangan ditiru kesalahannya yang menyelisihi syariat.” (al-I’thishom 1/535, Adab at-Tatalmudz hal. 42) 8. ETIKA BILA PELAJARAN SUDAH DIMULAI Bila pelajaran telah dimulai hendaklah bagi seorang penuntut ilmu memperhatikan hal-hal berikut; Menghadirkan hati dan perhatian dengan seksama Apabila telah hadir dalam majelis ilmu maka pusatkanlah perhatianmu untuk mendengar dan memahami pelajaran. Jangan biarkan hati menerawang ke-mana-mana. Konsentrasi penuh, karena sikap yang demikian akan membuat pelajaran lebih membekas dan terpahami. Ibnu Jama’ah berkata: “Hen­daklah seorang murid ketika menghadiri pelajaran gurunya memfokuskan hatinya dan ber-sih dari segala kesibukan. Piki-rannya penuh konsentrasi, ti­dak dalam keadaan mengantuk, marah, haus, lapar dan lain seba-gainya. Yang demikian agar hati­nya benar-benar menerima dan memahami terhadap apa yang dijelaskan dan apa yang dia de-ngar.” (Tadzkiroh Sami’ hal. 96) Faedah. Imam Hasan al-Bashri rahimahullahberkata: “Apabila engkau bermajelis maka bersemangatlah untuk mendengarkan daripada berbicara. Belajarlah bagaimana mendengar yang baik sebagaimana belajar berkata. Janganlah engkau memutus pembicaraan orang.” (Adab at-Tatalmudz hal. ,43) Mengenakan pakaian yang bersih Hal ini harus diperhatikan pula. Hendaklah seorang murid berpakaian yang sopan dan ber­sih. Ingatlah ketika malaikat Jibril bertanya kepada Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau sangat bersih pakaian dan keadaan dirinya. Umar bin Khoththob mengatakan: “Ketika kami duduk di sisi Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu hari, tiba-tiba datang kepada kami seorang laki-laki yang berpakaian sangat putih, rambutnya sangat hitam, tidak terlihat padanya bekas perjalanan jauh.” (HR. Muslim 8, Abu Dawud 4695, Tirmidzi 2610, Nasa’i 8/97, Ibnu Majah 63 dan selainnya.) Karena kondisi yang bersih menandakan bahwa seorang murid siap menerima pelajaran dan ilmu. Maka jangan salah-kan apabila ilmu tidak mere-sap dalam dada karena kondisi kita yang kurang siap, pakaian penuh keringat, kepanasan dan sebagainya. Duduk dengan tenang Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin berkata: “Duduklah dengan duduk penuh adab. Jangan engkau luruskan kakimu di hadapannya, ini termasuk adab yang jelek. Jangan duduk dengan bersandar, ini juga adab yang jelek apalagi di tempat be­lajar. Lain halnya jika engkau duduk di tempat umum, maka ini lebih ringan.” (at-Ta’liq as-Tsamin hal. 181) Bertanya kepada guru Ilmu adalah bertanya dan menjawab. Dahulu dikatakan, “Bertanya dengan baik adalah setengah ilmu.” (Fathul Bari 1/142) Apabila ada pelajaran yang tidak dipahami maka bertanyalah ke­pada guru dengan baik. Bertanya dengan tenang, tidak tergesa-gesa dan pergunakanlah bahasa yang santun lagi sopan. Jangan guru itu dipanggil dengan namanya, katakanlah wahai guruku dan semisalnya. Karena guru perlu dihormati, jangan disamakan de­ngan teman. Alloh berfirman; لَا تَجْعَلُوا دُعَاء الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاء بَعْضِكُم بَعْضاً Janganlah kamu jadikan panggilan Rosul di antara kamu seperti pang­gilan sebahagian kamu kepada seba-hagian (yang lain) … (QS. an-Nur [24]: 63) Ayat ini adalah pokok untuk membedakan orang yang punya kedudukan dengan orang yang biasa. Harap dibedakan keduanya. (al-Faqih wal Mutafaqqih, Adab at-Tatalmudz hal. 52) Perhatian. Sering kita jumpai se­bagian para penuntut ilmu memaksa gurunya untuk menjawab dengan dalil atas sebuah pertanyaan. Seolah-olah sang murid belum puas dan terus mendesak seperti berkata kenapa begini, soya belum terima, siapa yang ber­kata demikian, semua ini harus dihindari. Pahamilah wahai saudaraku, guru adalah manusia biasa, bisa lupa dan bersalah. Apabila engkau pandang gurumu salah atau lupa dengan dalilnya maka janganlah engkau memaksa terus dan jangan memalingkan muka darinya. Berilah waktu untuk mendatangkan dalil di kesempatan lain. Jagalah adab ini, jangan sampai sang guru menjadi jemu, marah hanya karena melayani pertanyaanmu. Syaikh al-Albani berkata: “Kadangkala seorang alim tidak bisa mendatangkan dalil atas se­buah pertanyaan, khususnya apa­bila dalilnya adalah sebuah istinbat hukum yang tidak dinashkan secara jelas dalam al-Qur’an dan Sunnah. Semisal ini tidak pantas bagi penanya untuk terlalu mendalam bertanya akan dalilnya. Menyebutkan dalil adalah wajib ketika realita menuntut demikian. Akan tetapi tidak wajib baginya acapkali ditanya harus menjawab Allah berfirman demikian, Rosul bersabda demikian, lebih-lebih dalam perkara fiqih yang rumit yang diperselisihkan. (Majalah al-Asholah edisi. 8 hal. 76. Lihat at-Ta’liq as-Tsamin hal. 188) 9. PERHATIKAN KEADAAN GURUMU Memperhatikan keadaan guru merupakan perkara yang penting. Karena mengajar butuh persiapan yang penuh. Jangan bertanya atau meminta belajar ketika kondisi guru tidak siap, semisal sedang sibuk, banyak permasalahan, sedih dan sebagainya. Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Janganlah engkau meminta belajar kepadanya ketika dia sibuk, sedang sedih, kelelahan, dan Iain-lain, karena hal itu akan menyebabkan dia malas untuk menjelaskan pelajaran kepadamu.” (al-Majmu’ 1/86) 10. MEMBELA KEHORMATAN GURU Ketahuilah selayaknya bagi siapa saja yang mendengar orang yang sedang mengghibah kehor­matan seorang muslim, hendaklah dia membantah dan menasehati orang tersebut. Apabila tidak bisa diam dengan lisan maka dengan tangan, apabila orang yang mengghibah tidak bisa dinasehati juga dengan tangan dan lesan maka tinggalkanlah tempat tersebut. Apabila dia mendengar orang yang mengghibah gurunya atau siapa saja yang mempunyai kedudukan, keutamaan dan kesholihan, maka hendaklah dia lebih serius untuk membantahnya. (Shohih al-Adzkar 2/832, Adab at-Tatalmudz hal. 33) 11. JANGAN BERLEBIHAN KEPADA GURU Guru adalah manusia biasa. Tidak harus semua perkataannya diterima mentah-mentah tanpa menimbangnya menurut kaidah syar’iah. Orang yang selalu manut terhadap perkataan guru, bahkan sampai membela mati-matian ucapannya adalah termasuk sikap ghuluw (berlebih-lebihan). Apabila telah jelas kekeliruan guru maka nasehatilah, jangan diikuti kesalahannya. Jangan seorang guru dijadikan tandingan bagi Alloh dalam syariat ini. Alloh berfirman; اتَّخَذُواْ أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَاباً مِّن دُونِ اللّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُواْ إِلاَّ لِيَعْبُدُواْ إِلَـهاً وَاحِداً لاَّ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rohib-rohib mereka se-bagai Robb-Robb selain Allah, dan (juga mereka menjadikan Robb) Al-Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Ilah Yang Maha Esa; tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Alloh dari apa yang me­reka persekutukan. (QS. at-Taubah [9]: 31) Imam Mawardi rahimahullahmengatakan, “Sebagian para pengikut orang alim berbuat ghuluw kepada gurunya. Hingga menja­dikan perkataannya sebagai dalil sekalipun sebenarnya tidak bisa dijadikan dalil. Meyakini ucap­annya sebagai hujjah sekalipun bukan hujjah.” (Adab Dunya hal. 49, Adab at-Tatalmudz hal. 38) 12. BILA GURU BERSALAH Sudah menjadi ketetapan yang mapan bahwasanya tidak ada seorang pun yang selamat dari kesalahan. Salah merupakan hal yang wajar terjadi pada ma­nusia. Rosululloh SAW bersabda; Seluruh bani Adam banyak bersalah. Dan sebaik-baiknya orang yang ba­nyak bersalah adalah yang bertaubat. (HR. Tirmidzi 2499, Ibnu Majah 4251, Ahmad 3/198, ad-Darimi 273, Hakim 4/244; Lihat Shohih Jami’us Shoghir 4515) Imam Ibnul Qoyyim berkata: “Barangsiapa yang mempunyai ilmu dia akan mengetahui de­ngan pasti bahwa orang yang mempunyai kemuliaan, mempu­nyai peran dan pengaruh dalam Islam maka hukumnya seperti ahli Islam yang lain. Kadang-kala dia tergelincir dan bersalah. Orang yang semacam ini diberi udzur bahkan bisa diberi pahala karena ijtihadnya, tidak boleh kesalahannya diikuti, kedudukannya tidak boleh dilecehkan di hadapan manusia.” (I’lamul Muwaqqi’in 3/295)’ Ibrohim an-Nakho’i berkata, “Barangsiapa yang mencari ilmu karena mengharap wajah Alloh, maka Alloh akan memberikan kecukupan kepadanya”. (HR. Darimi 265). Imam Hasan al-Bashri rahimahullah berkata: “Barangsiapa yahg mencari sesuatu dari ilmu ini dan menghendaki apa yang di sisi Alloh, niscaya akan mendapatinya. Dan barangsiapa yang menghendaki dunia maka itulah bagiannya.” (HR. Darimi 254) Demikianlah beberapa adab seorang murid kepada gurunya. Semoga kita termasuk orang-orang yang selalu , berhiaskan akhlak yang mulia dan jauh dari akhlak yang rendahan. Amin. Wallohu A’lam. Source: - Ustadz Abu Abdillah al-Atsari - Maktabah Abi Yahya - AL FURQON, edisi 11 tahun VI Jumadi Tsaniyah 1428 H, Hal 47-51 - Risalah Adabat-Talamudz, Skh Shalih bin Muhammad al-Asmari

"><!-- FREE-BLOG-CONTENT.com -->
<br><center><iframe src="http://www.free-blog-content.com/Calendars/calendar0003.htm" width="120" height="184"
marginwidth="0" marginheight="0" frameborder="no" scrolling=no allowtransparency="true"></iframe></center>
<center><a style="font-size: 3mm" href="http://www.free-blog-content.com/">Free Blog Content</a></center></br>

A. PENDAHULUAN Pendidikan Agama bergaris akhir pada terbentuknya manusia yang beriman dan bertakwa, berbudi luhur, berakhlakul karimah dan adil. Ini adalah nilai yang sempurna, artinya manusia yang beragama sekaligus harus beriman pada yang gaib, dan berilmu untuk hal-hal yang dibuka Allah Swt. mereka menjadi manusia yang utuh. Jadi kalau pendidikan Agama hanya menghasilkan orang-orang yang terikat pada dogma dan tradisi-tradisi, lalu menyalahkan orang lain yang berbeda dogma dan tradisi, serta kehilangan berbudi luhur dan berakal sehat, maka gagal sudah pendidikan Agama itu, apapun nama Agamanya. Lembaga pendidikan Islam yang mempunyai tujuan seperti di atas, salah satunya adalah Madrasah Diniyah, yaitu lembaga pendidikan Islam yang mencoba untuk membina dan membangun insan manusia yang kamil yang sesuai dengan ajaran dan tujuan Agama Islam untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Oleh karena pentingnya pendidikan Agama, maka perlu kiranya untuk dilestarikan dan dibudayakan dalam kehidupan di masyarakat, sehingga masyarakat merasa butuh dan ingin untuk memasukkan putra-putrinya ke lembaga pendidikan Agama khususnya Madrasah Diniyah. Maka di sinilah pentingnya Revitalisasi pendidikan Agama khususnya Madrasah Diniyah untuk memulihkan “citra Allah” dalam diri manusia sehingga melahirkan keluhuran budi pekerti dan keyakinan iman seseorang[1] yang membawa pada tujuan hidup dan kehidupan keagamaan bagi setiap manusia. REVITALISASI MADRASAH DINIYAH NON FORMAL DALAM MEMBENTUK MASYARAKAT BELAJAR Oleh : Muhsinun B. PEMBAHASAN 1. Sekilas Tentang Madrasah Diniyah Pendidikan adalah usaha untuk membimbing yang dilakukan secara sadar terhadap peserta didik menuju terbentuknya kepribadian yang baik dan utama. Madrasah Diniyah Awaliyah adalah satuan pendidikan keagamaan jalur luar sekolah yang menyelenggarakan pendidikan Agama Islam tingkat dasar dengan masa belajar empat tahun, dan jumlah jam belajar 18 jam pelajaran/minggu. Madrasah Diniyah Awaliyah sebagai satuan pendidikan 4 keagamaan jalur luar sekolah di lingkungan Departemen Agama, berada di dalam pembinaan dan bertanggung jawab kepada Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten atau Kota, dalam hal ini Kepala Seksi Perguruan Agama Islam, atau tata kerja organisasi yang sejenis. Pendidikan Madrasah Diniyah Awaliyah yang dimaksud adalah lembaga pendidikan informal yang terfokus pada pembelajaran Agama Islam. Lembaga pendidikan Islam yang bernama Madrasah Diniyah adalah Lembaga pendidikan yang mungkin lebih disebut sebagai pendidikan non formal, yang menjadi lembaga pendidikan pendukung dan menjadi pendidikan alternatif.[2] Biasanya jam pelajaran mengambil waktu sore hari, mulai bakda ashar hingga maghrib. Atau, memulai bakda isya’ hingga sekitar jam sembilan malam. Lembaga pendidikan Islam ini tidak terlalu perhatian pada hal yang bersifat formal, tetapi lebih mengedepankan pada isi atau substansi pendidikan. Madrasah Diniyah adalah Madrasah yang seluruh mata pelajrannya bermaterikan ilmu-ilmu Agama, yaitu fikih, tafsir, tauhid, hikmahbtasyri’, adabh (akhlak), hadits, nahwu, sharaf, ushul fikih dan olmu-ilmu lainnya.[3] hal ini membuat santri Madrasah Diniyah benar-benar mampu menguasai ilmu-ilmu Agama karena tidak terlalu dituntut untuk mengejar kurikulum yang sudah ditargetkan, malainkan belajar dengan cara penguasaan materi bukan mengejar target pokok bahasan yang telah ditentukan. Sebenarnya Madrasah Diniyah lahir dari ketidak puasan sebagian tokoh terhadap sistem pendidikan Pesantren, sehingga mereka mencoba untuk membuat lembaga pendidikan yang sedikit lain dengan Pesantren. Melalui organisai-organisasi sosial kemasyarakatan mereka mulai mendirikan lembaga pendidikan misalnya organisasi Muhammadiyah, Persatuan Muslim Indonesia (Permi), Diniyah, Thawalib, Pendidikan Islam Indonesia (PII), dan sejumlah sekolah-sekolah yang tidak berafiliasi kepada organisasi apapun.[4] Sudah menjadi kebiasaan bagi anak-anak desa, selain masuk sekolah dasar juga melengkapinya dengan sekolah Agama. Pagi hari anak-anak masuk Sekolah Dasar sedangkan sore hari atau malam hari belajar di Madrasah Diniyah, sebagai salah satu sarana untuk memperdalam pengetahuan Agama, karena pada dasarnya pendidikan itu secara garis besarnya terdiri dari tiga bagian yaitu, pendidikan oleh dirinya sendiri, kegiatan pendidikan oleh lingkungan dan kegiatan oleh orang lain terhadap orang tertentu.[5] Demikian pula tempat pendidikan ada tiga yang pokok, yaitu di dalam rumah, di masyarakat, dan di sekolah.[6] Yah namun sebagian guru-guru ada yang tidak menyukai para muridnya untuk merangkap belajar di Madrasah Diniyah, khawatir mengganggu pelajaran paginya di sekolah. Sikap guru tersebut tidak berani disampaikan secara terbuka, khawatir mendapatkan reaksi negative dari para pemuka Agama. Madrasah Diniyah diselenggarakan oleh tokoh Agama di desa. Biasanya memanfaatkan rumah pribadi mereka atau mengambil tempat di sebagian serambi masjid. Puluhan anak secara bersama-sama diajar di tempat itu. Para siswa juga tidak dipungut biaya. Guru yang mengajar di Madrasah juga tidak dibayar apa-apa. Semua dijalani secara ikhlas untuk mengembangkan lembaga pendidikan Islam. Anak-anak desa berhasil mampu membaca al Qur’an biasanya melalui lembaga pendidikan seperti ini. Para santri diajari mulai dari mengenal huruf arab, belajar tajwid, nahwu dan shorof. Kebanyakan anak desa, terutama putra-putri kaum santri, didorong oleh orang tuanya belajar Agama sore hari di, lembaga pendidikan tersebut. Berbeda dengan pendidikan Agama pada sekolah formal seperti MI, MTs, MA dan PTAI yang harus dilakukan sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan oleh Kementerian Agama dalam berbagai aspek misalnya kurikulum, akreditasi, supervisi dan ujian.[7] Dengan adanya lembaga pendidikan Agama seperti Madrasah Diniyah ini, tidak menjadikan banyak orang mengeluh tentang terbatasnya jumlah jam pelajaran Agama di sekolah. Berapapun jumlah jam pelajaran Agama di sekolah umum (sekolah dasar), tidak pernah dipersoalkan para siswa sudah mengikuti pendidikan di Madrasah Diniyah ini. Para tokoh Agama menganggap pendidikan Diniyah tersebut sedemikian penting, sehingga mereka menyelenggarakan Madrasah Diniyah di sore hari bagi seluruh siswa sebuah sekolah. Di sore hari gedung sekolah dasar digunakan untuk Madrasah Diniyah. Sedangkan para muridnya adalah sekaligus juga siswa sekolah dasar itu. Melalui cara ini, tidak pernah dikeluhkan oleh masyarakat tentang kekurangan jam pelajaran Agama bagi para siswa sekolah umum, bahkan masa sekarang ini pendidikan Madrasah Diniyah sudah merambah ke berbagai golongan di masyarakat. Dalam perkembangan selanjutnya, para tokoh Agama merintis bentuk lembaga pendidikan yang dianggap lebih sempurna, yaitu berupa Madrasah Ibtidaiyah untuk tingkat dasar, Madrasah Tsanawiyah untuk tingkat menengah pertama dan Madrasah Aliyah untuk Tingkat atas atau setara SMU.[8] Di pedesaan sejak akhir tahun 1960 an banyak berdiri Madrasah Ibtidaiyah. Para tokoh Agama dengan kekuatan yang dimiliki berusaha mendirikan jenis lembaga pendidikan tersebut, sehingga di mana-mana muncul Madrasah ibtidaiyah. Kebanyakan Madrasah Ibtidaiyah didirikan dan difasilitasi oleh masyarakat sendiri, atau berstatus swasta. Sudah barang tentu keadaan lembaga pendidikan Islam tersebut sangat sederhana, baik dari aspek ketersediaan fasilitas pendidikannya maupun juga ketenagaannya. Lembaga pendidikan ini sebenarnya adalah sebagai wujud perbaikan sistem pendidikan masyarakat yang memang masih bingung dengaan sestem pendidikan mana yang paling tepat, efektif dan efesien. Dengan semakin maraknya pertumbuhan lembag-lembaga pendidikan Agama yang diakui oleh lembaga kepemerintahan dalam hal ini Kementerian Agama (Departemen Agama. red), pertumbuhan lembaga pendidikan Agama yang bersifat tradisional sampai lembaga pendidikan Agama mulai kurang diperhatikan. Sungguh pun begitu, ada fenomena yang menarik dalam dunia pendidikan kita, khususnya berkaitan dengan pesantern dan Madrasah Diniah. Seperti diketahui bahwa pertumbuhan Madrasah yang menganut yang menganut sistem pendidikan Nasional kian bertambah dan kian maju dengan pesatnyadari waktu ke waktu. Namun ada yang manarik pula bahwa pertumbuhan itu dibarengi dengan makin banyaknya Madrasah-Madrasah Diniyah, yaitu Madrasah yang keseluruhan mata pelajarannya adalah mata pelajaran Agama ataupun kalau ditambah dengan mata pelajaran umum, maka prosentasenya sangat sedikit. [9] Dapat dipahami bahwa pertumbuhan Madrasah Diniyah, yang menurut survey pada tahun 1999, jumlahnya berkisar 22.000 buah mengekspresikan tuntutan aspirasi pendidikan Agama lebih banyak. Mereka umumnya bahwa pelajaran dan pendidikan Agama di sekolah-sekolah umum atau Pesantren-Pesantren yang menganut kurikulum pendidikan Nasional belum cukup.[10] Munculnya lembaga pendidikan Islam (Madrasah Diniyah) ini disambut baik oleh masyarakat pada umumnya. Bentuk lembaga pendidikan Islam ini dianggap ideal, karena melalui lembaga pendidikan tersebut mengajarkan ilmu Agama sementara ilmu umum sudah didapati di sekolah-sekolah umum. Memang model lembaga pendidikan seperti itu yang diinginkan oleh masyarakat, terutama kaum santri, sehingga kehadiran Madrasah Diniyah mendapat sambutan yang sangat positif dari masyarakat. Dalam kondisi seperti ini, maka keberadaan Madrasah-Madrasah Diniyah di beberapa lembaga pendidikan yang terintegrasai pada Pesantren menjadi benteng untuk mempertahankan tradisi Pesantren dalam mempertahankan tradisi/paradigmanya terhadap penguasaan “kitab kuning” sebagai ciri pokok Pesantren[11] yang mengintegrasikan pendidikan Madrasah Diniyah dalam satu wadah/sistem pendidikanya. Memang bagi lembaga pendidikan Pesantren seyogyanya harus memulai melakukan penyadaran diri untuk turut mengikuti perkembangan sosial masyarakat yang akhir-akhir ini mulai cenderung untuk memilih pendidikan yang menuju ke arah modern. Dalam hal ini, untuk mempertahankan kekhususannya maka Madrasah-Madrasah Diniyah dijadikan sebagai lembaga pendidikan pendukung yang menjadi alternatif. Hanya saja hal tersebut memang memerlukan pengaturan waktu (time managerial), yang cermat.[12] Masyarakat pedesaan yang kala itu masih melihat sesuatu dari aspek simboliknya, maka pendidikan Madrasah Diniyah dianggap sudah ideal, sekalipun tidak didukung oleh tenaga yang berkualitas serta sarana dan prasarana yang memadai. Bagi mereka yang terpenting bernama Madrasah. Kualitas bagi mereka selalu terkait dengan symbol itu, yakni berupa nama yang melekat pada lembaga pendidikan dimaksud. Tidak sebagaimana Madrasah Diniyah yang hampir semuanya gratis, sekalipun masih terbatas jumlahnya masyarakat sudah mau ikut membiayai operasional Madrasah dengan membayar uang syari’ah (SPP).[13] Namun ada sesuatu yang memilukan, dengan lahirnya sistem pendidikan Agama Madrasah Ibtidaiyah, sebagian masasyarakat tidak selalu memilih lembaga pendidikan Madrasah Ibtidaiyah bagi anak-anak mereka. Masih banyak anak-anak santri yang masuk di sekolah dasar. Dengan hilangnya Madrasah Diniyah ini, maka para siswa SD tidak lagi bisa menambah pelajaran Agama di sore hari sebagaimana yang dulu-dulu. Anak-anak Sekolah Dasar, akhirnya mencukupkan pelajaran Agama yang diberikan di sekolah mereka masing-masing. Akhir-akhir ini, sekalipun status Madrasah menjadi kuat, yaitu masuk dalam system pendidikan nasional, namun masih muncul berbagai penilaian, misalnya bahwa kualitas Madrasah ternyata tertinggal dibanding dengan sekolah umum. Penilaian semacam itu sesungguhnya jika kita mau berpikir jernih tidak adil. Sebab, yang dibandingkan hanyalah prestasi bidang mata pelajaran tertentu yang diujikan secara nasional. Padahal jika yang dibandingkan adalah mata pelajaran Agama, maka jelas Madrasah lebih unggul. Selain itu, membandingkannya juga tidak tepat. Sekolah dasar milik pemerintah seluruh kebutuhannya, guru, buku, sarana dan prasarana lainnya dipenuhi, sedangkan Madrasah tidak. Perlakuan terhadap keduanya yang tidak sama itu, maka semestinya sangatlah tidak tepat dibandingkan hasilnya membandingkan dengan cara seperti itu mestinya dihindari, sebab menjadi tidak adil. Tetapi anehnya, para pejabat yang memiliki otoritas mengelola Madrasah juga ikut-ikutan menyuarakan hal yang tidak semestinya itu. Mereka juga ikut mengatakan bahwa Madrasah selama ini tertinggal, dan kualitasnya rendah. Akibatnya, citra Madrasah sebagai lembaga pendidikan yang berkualitas rendah, tertanam di masyarakat. Sekalipun rendahnya citra itu, ternyata juga tidak mengurangi semangat masyarakat mempercayai Madrasah sebagai lembaga pendidikan yang dianggap lebih baik dan mencukupi. Akhir-akhir ini, Madrasah di berbagai tingkatannya, Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah, sudah mulai mendapatkan perhatian dari pemerintah. Selain beberapa di antaranya ditingkatkan statusnya, yakni dinegerikan, maka yang masih berstatus swasta pun juga dibantu, seperti gedungnya diperbaiki, dibantu berupa buku pelajaran dan lain-lain, sekalipun masih terbatas jumlahnya. Hanya saja lembaga pendidikan Islam yang berupa Madrasah Diniyah, rupanya belum mendapatkan cukup perhatian. Padahal, sebenarnya lembaga pendidikan jenis ini keberadaannya sangat penting, sebagai pelengkap atau menambal dari kekurangan yang dialami oleh sekolah umum. Dulu, Madrasah Diniyah ini di beberapa tempat ternyata hasilnya cukup baik. Karena dibina oleh orang-orang yang ikhlas, dan sifatnya tidak terlalu formal para santrinya tidak sebatas mengejar ijazah atau sertifikat, maka menurut informasi dari beberapa sumber, tidak sedikit santri Madrasah Diniyah mampu memahami kitab kuning. Padahal sementara itu, lulusan perguruan tinggi Agama Islam, belum tentu mampu. Kegagalan itu, mungkin karena niat mereka kurang ikhlas, tidak sungguh-sungguh dan apalagi masih ditambah kelemahan lainnya, yakni mereka kuliah hanya bersifat formalitas untuk mendapatkan ijazah. Wallahu a’lam. 2. Madrasah Diniyah Sebagai Pendidikan Berbasis Masyarakat Pendidikan adalah tanggungjawab bersama antara keluarga, pemerintah dan masyarakat. Keluarga adalah lembaga pertama dan utama bagi pembentukan nilai-nilai dan karakter manusia (habitual formation), pemerintah dengan fasilitas sekolah meneruskan nilai-nilai dan karakter yang dibangun di lingkungan keluarga sebagai pendidikan kedua, dan dilanjutkan dengan kehidupan di masyarakat yang juga bertanggung jawab dalam pembentukan moral anak. Ketiga lembaga yang dimaksud oleh Ki Hajar Dewantara sering disebut Tricentra Pendidikan.[14] Namun demikian, aktualisasi pemeransertaan, terutama antara sekolah dengan masyarakat tersebut masih sangat variatif antar daerah dan antar satuan-satuan pendidikan. Keberagaman tersebut terutama disebabkan oleh paradigma pembangunan pendidikan yang selama ini diberlakukan, yang kemudian mempengaruhi perilaku birokratnya. Pembangunan, tidak terkecuali pembangunan pendidikan, direncanakan dengan pendekatan mechanistic planning model atau engineering model yang memposisikan masyarakat sebagai obyek dari sebuah blue print perubahan yang berasal dari atas.[15] Dengan paradigma ini, maka pemeransertaan masyarakat identik dengan memaksa masyarakat untuk mengerti dan mengikuti kemauan birokrat pendidikan dan membantu keberhasilan implementasi kemauan tersebut. Pola pendekatan ini makin diperparah oleh masih melekatnya budaya feodal yaitu sikap paternalistik dan hubungan patron klien. Dengan sikap paternalistik, hubungan antara birokrat dan masyarakat diposisikan sebagai hubungan vertikal dari atas, sedang pola hubungan patron klien memposisikan sebagai hubungan bapak-anak. Ada keniscayaan bagi anak untuk menerima dan menghormati setiap keputusan yang dikatakan oleh bapak yang akan selalu bersikap menggurui dan mengendalikan anak. Paradigma berikutnya adalah yang menyangkut pemahaman tentang partisipasi itu sendiri, yang sesungguhnya merupakan akibat logis dari paradigma yang pertama. Paradigma demikian memposisikan masyarakat atau institusi kemasyarakatan sebagai subordinasi dari birokrasi pemerintah yang hanya menjadi penerima pasif program dan berpartisipasi sesuai dengan “ kapling “ yang disediakan oleh pemerintah. Terlepas dari paradigma-paradigma di atas, pendidikan dengan berbasis pada masyarakat adalah proses human action planning model yaitu model yang menekankan pada upaya untuk mensistematisasikan aspirasi pembangunan yang ada dalam masyarakat dan menyusunnya menjadi sebuah dokumen perencanaan atau kebijakan. Konsekuensinya adalah keputusan tentang pembangunan pendidikan adalah hasil kesepakatan bersama antara birokrasi dan masyarakat. Proses pembangunan pun seharusnya menerapkan prinsip people-centered development.[16] Partisipasi ditafsirkan sebagai kerja sama antara rakyat dengan pemerintah dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan dan mengembangkan hasil pembangunan. Sebagai sebuah kerja sama, maka masyarakat diasumsikan mempunyai aspirasi, nilai dan budaya yang perlu diakomodasikan dalam proses perencanaan dan pelaksanaan suatu program. Pendidikan harus berlangsung dari, oleh dan bersama masyarakat.[17] Pendidikan dari masyarakat artinya memberikan jawaban terhadap kebutuhan (needs) masyarakat, oleh masyarakat berarti masyarakat bukan obyek pendidikan, tetapi berpartisipasi aktif dimana masyarakat mempunyai peranan dalam setiap langkah program pendidikannya, prinsip bersama masyarakat berarti, masyarakat diikutsertakan dalam semua program yang telah mendapatkan persetujuan masyarakat, karena lahir dari kebutuhan nyata masyarakat itu sendiri. Inilah yang sekarang sering disebut sebagai pendidikan berbasis masyarakat (community- based education). Pengertian tentang berbasis dapat menunjuk pada derajat kepemilikan masyarakat. Secara gamblang dapat dikatakan bahwa apabila sesuatu berbasis masyarakat, maka hal itu sepenuhnya menjadi milik masyarakat. Kepemilikan mengimplikasikan adanya pengendalian secara penuh terhadap pengambilan keputusan. Kepemilikan penuh berarti bahwa masyarakat memutuskan tujuan dan sasaran, pembiayaan, kurikulum, standar dan ujian, guru dan kualifikasinya persyaratan siswa dan sebagainya.[18] Pendidikan berbasis masyarakat menekankan pentingnya pemahaman akan kebutuhan masyarakat dan cara pemecahan masalah oleh masyarakat dengan menggunakan potensi yang ada di masyarakat. Watson (1991) sebagaimana dikutip oleh Umberto Sihombing dalam makalahnya yang berjudul “Konsep dan Pengembangan Pendidikan Berbasis Masyarakat“ mengemukakan bahwa pendidikan berbasis masyarakat memiliki tiga (3) elemen yaitu : Mementingkan warga belajar sebagai dasar untuk mengembangkan program belajar dan senantiasa memperhatikan kebutuhan belajar masyarakat, karena sebenarnya mereka tahu apa yang mereka butuhkan. Program dimulai dari perspektif yang kritis. Ada tiga perspektif dalam melihat masyarakat yaitu konservatif, liberal dan kritis. Pendidikan berbasis masyarakat menggunakan pendekatan kritis yang menekankan pentingnya perbaikan kemampuan dasar masyarakat, meningkatkan kemampuan yang sudah ada dan partisipasi dalam setiap kegiatan. Pembanguan masyarakat yang menekankan bahwa program belajar harus berlokasi di masyarakat, menjawab kebutuhan masyarakat, menciptakan rasa memiliki, dan program itu dirancang, diputuskan, serta diatur oleh masyarakat sehingga mereka membentuk kesatuan yang lebih besar. [19] Selanjutnya Brookfield (1987) membandingkan antara pendidikan berbasis masyarakat (community-based education) dengan pendidikan berbasis sekolah (school -based education ), antara lain ditunjukkan bahwa kurikulum pendidikan berbasis masyarakat terintegrasi dengan kehidupan sehari-hari, masalah yang diangkatnya relevan dengan kebutuhan masyarakat, urutan pembelajarannya tergantung warga belajar, waktunnya belajar fleksibel, menggunakan pendekatan andragogi, biasanya tidak mengutamakan ijazah. Sementara kurikulum pendidikan berbasis sekolah tergantung pada pokok bahasan, urutan pelajarannya sudah diatur, waktu belajarnya tidak fleksibel, menggunakan terminologi paedagogis dan mengutamakan ijazah.[20] Dari sini jelas terlihat bahwa sebenarnya Madrasah Diniyah sebagai pendidikan berbasis masyarakat bukanlah hal yang baru untuk bangsa Indonesia. Model pendidikan ini sudah ada bahkan jauh sejak sebelum Indonesia merdeka. Hanya saja selama ini menganggap hal itu biasa walaupun lembaga pendidikan itu sudah tumbuh dan berkembang lama di masyarakat. Munculnya Madrasah Diniyah dan Pesantren biasanya dimotori oleh masyarakat setempat yang memiliki komitmen tinggi terhadap pendidikan dan Agama. Kini dalam dunia pendidikan yang kian demokratis, manajemen pendidikan yang efisien dan efektif memberikan tempat yang seluas-luasnya bagi partisipasi masyarakat. Karena jika tidak demikian, maka lembaga pendidikan akan terasing dari pengabdiannya bagi kebutuhan masyarakat nyata. Sistem pendidikan Pesantren, Madrasah Diniyah dan lembaga-lembaga pendidikan keagamaan yang muncul di tengah-tengah masyarakat pada dasarnya merupakan wujud dari pendidikan indigenous yaitu pendidikan yang lahir dari kebutuhan dan untuk masyarakat, dimana lembaga itu hidup. Tidak mengherankan pendidikan modern oleh Paulo Freire dikatakan sebagai lembaga-lembaga tirani yang mematikan inisiatif karena antara lain hilangnya partisipasi masyarakat di dalam pengelolaannya. 3. Manajeman dan Model Pendidikan Madrasah Diniyah a. Urgensi Managemen Pendidikan Madrasah Diniyah Meskipun Madrasah Diniyah bukanlah lembaga pendidikan formal yang mengikuti kurikulum Nasional yang telah ditetapkan Oleh Dinas Pendidikan Nasional maupun Kementerian Agama, namun itu tidak berarti bahwa dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar tidak memerlukan manageman, manageman dibutuhkan oleh seluruh organisasi, karena tanpa managemen semua usaha akan sia-sia dan pencapaian tujuan oeranisasi akan lebih sulit mencapai kesempurnaan. Pada hakikatnya tujuan didirikannya lembaga pendidikan Madrasah Diniyah adalah untuk memberikan ilmu-ilmu Agama yang cukup kepada para santri Madrasah Diniyah. Eksistensi Madrasah Diniyah sangat dibutuhkan ketika lulusan Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan formal (sistem kurkulum Nasional) ternyata kurang mumpuni dalam penguasaan ilmu Agama. Dengan kenyataan itu, maka keberadaan Madrasah Diniyah menjadi sangat penting, sebagai penopang dan pendukung pendidikan formal yang ada.[21] Karenanya tidak berlebihan bila kegiatan belajar mengajar dilaksanakan di Madrasah Diniyah perlu dimanaj dengan sebaik-baiknya. Ada tiga alasan utama diperlukannya manageman pendidikan untuk Madrasah Diniyah yaitu: Untuk mencapai tujuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Madrasah Diniyah, yakni memberikan pembekalan ilmu-ilmu Agama yang cukup kepada para santri, dalam upaya mempersiapkan lahirnya santri-santri yang matangdalam penguasaan ilmu-ilmu Agama. Kebutuhan terhadap manageman untuk Madrasah Diniyah ini terasa semakin mendesak, mengingat posisinya sebagai lembaga pendidikan pendukung bagi sistem pendidikan formal yang dilaksanakan Pesantren. Untuk menjaga keseimbangan sekaligus memfokuskan tujuan-tujuan yang ingin dicapai dalam proses pendidikan yang terjadi dalam Madrasah Diniyah. Untuk mencapai efesiensi dan efektifitas, bagaimanapun setiap kegiatan yang dilaksanakan dengan menafikan unsur-unsur manageman, maka kegiatan itu tidak akan efektif dan efesien.[22] b. Aplikasi Manageman Waktu di Madrasah Diniyah Meskipun Madrasah Diniyah adalah lembaga pendidikan yang mempunyai waktu yang cukup representatif untuk penyampaian materi-materi Agama, namun sebagaimana lazimnya lembaga-lembaga pendidikan lain, Madrasah Diniyahpun perlu pengaturan waktu, terutama untuk kegiatan belajar mengajar yang dilaksanakannya. Pada prinsipnya beberapa tahapan yang dapat ditempuh oleh Madrasah Diniyah dalam penerapan manageman waktu misalnya: Mencermati dan menjabarkan kalender pendidikan, sampai ditemukan hari-hari efektif dan dan tidak efektif sesuai dengan tipe Madrasah Diniyah Tersebut. Dengan jumlah waktu efektif dan tidak efektif, dapat ditentukan dasar penyusunan program dan rensan belajar mengajar di Madrasah Diniyah. Dengan rencana program tersebut, selanjutnya dibuat rancangan waktu pendidikan Madrasah Diniyah yang komperehensif yang menyangkut seluruh aspek kegiatan. Kegiatan non-pendidikan dapat dilakukan di luar jam efektif Madrasah Diniyah.[23] c. Model Pendidikan Madrasah Diniyah. Peran vital Madrasah Diniyah bagi masyrakat haruslah tetap dijaga sampai kapanpun, hal tersebut dapat diperoleh jika model pendidikannya dapat diterima oleh masyarakat. Salah satu solusinya adalah dengan mengintergasikan Madrasah Diniyah ini kedalam lembaga pendidikan pesantren atau lembaga pendidikan formal seperti MIN, MTs, dan MA. Ada banyak langkah yang bisa ditempuh untuk mewujudkan model pendidikan Madrasah Diniyah yang ideal antara lain: 1) Integralisasi pendidikan Madrasah Diniyah dengan sistem pendidikan formal pondok pesantren 2) Penerapan manageman pendidikan secara baik dan benar 3) Sistem pembelajaran dilaksanakan harus dengan mengacu pada kurikulum. 4) Melengkapi Madrasah Diniyah dengan media pendidikan yang sesuai.[24] C. KESIMPULAN pendidikan Agama yang diperoleh anak di sekolah-sekolah umum masih kurang. Alokasi waktu untuk anak memperoleh stimulus Agama kurang lebih hanya 2x 40 menit/minggu. Walaupun di sekolah terdapat kegiatan ekstra di bidang keagamaan, siswa yang berminat hanya sedikit. Inovasi dibentuk, semangat usaha dari perorangan maupun organisasi menggagas adanya Madrasah Diniyah. Madrasah Diniyah merupakan lembaga informal, yang waktu pelaksanaan kegiatannya di luar jam sekolah. Siswanya tidak dibatasi dari sekolah manapun. Mengingat masa usia sekolah (usia 5-13 tahun) merupakan masa penting anak dalam perkembangan, maka didirikan Madrasah Diniyah Awaliyah, Departemen Agama sebagai fasilitator lembaga. Melihat fenomena masyarakat yang tertera di atas, tampak jelas bahwa masyarakat membutuhkan stimulus Agama yang lebih, terutama pada anak-anak. Oleh karenanya tercipta inovasi pendidikan informal Madrasah Diniyah Awaliyah. Dengan ini, peneliti mencoba untuk meneliti adakah pengaruh pendidikan Madrasah Diniyah Awaliyah terhadap sikap beragama siswa.

A. PENDAHULUAN

Pendidikan Agama bergaris akhir pada terbentuknya manusia yang beriman dan bertakwa, berbudi luhur, berakhlakul karimah dan adil. Ini adalah nilai yang sempurna, artinya manusia yang beragama sekaligus harus beriman pada yang gaib, dan berilmu untuk hal-hal yang dibuka Allah Swt. mereka menjadi manusia yang utuh. Jadi kalau pendidikan Agama hanya menghasilkan orang-orang yang terikat pada dogma dan tradisi-tradisi, lalu menyalahkan orang lain yang berbeda dogma dan tradisi, serta kehilangan berbudi luhur dan berakal sehat, maka gagal sudah pendidikan Agama itu, apapun nama Agamanya.

Lembaga pendidikan Islam yang mempunyai tujuan seperti di atas, salah satunya adalah Madrasah Diniyah, yaitu lembaga pendidikan Islam yang mencoba untuk membina dan membangun insan manusia yang kamil yang sesuai dengan ajaran dan tujuan Agama Islam untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.

Oleh karena pentingnya pendidikan Agama, maka perlu kiranya untuk dilestarikan dan dibudayakan dalam kehidupan di masyarakat, sehingga masyarakat merasa butuh dan ingin untuk memasukkan putra-putrinya ke lembaga pendidikan Agama khususnya Madrasah Diniyah. Maka di sinilah pentingnya Revitalisasi pendidikan Agama khususnya Madrasah Diniyah untuk memulihkan “citra Allah” dalam diri manusia sehingga melahirkan keluhuran budi pekerti dan keyakinan iman seseorang[1] yang membawa pada tujuan hidup dan kehidupan keagamaan bagi setiap manusia.

REVITALISASI MADRASAH DINIYAH NON FORMAL DALAM MEMBENTUK MASYARAKAT BELAJAR
Oleh : Muhsinun

B. PEMBAHASAN

1. Sekilas Tentang Madrasah Diniyah

Pendidikan adalah usaha untuk membimbing yang dilakukan secara sadar terhadap peserta didik menuju terbentuknya kepribadian yang baik dan utama. Madrasah Diniyah Awaliyah adalah satuan pendidikan keagamaan jalur luar sekolah yang menyelenggarakan pendidikan Agama Islam tingkat dasar dengan masa belajar empat tahun, dan jumlah jam belajar 18 jam pelajaran/minggu. Madrasah Diniyah Awaliyah sebagai satuan pendidikan 4 keagamaan jalur luar sekolah di lingkungan Departemen Agama, berada di dalam pembinaan dan bertanggung jawab kepada Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten atau Kota, dalam hal ini Kepala Seksi Perguruan Agama Islam, atau tata kerja organisasi yang sejenis. Pendidikan Madrasah Diniyah Awaliyah yang dimaksud adalah lembaga pendidikan informal yang terfokus pada pembelajaran Agama Islam.

Lembaga pendidikan Islam yang bernama Madrasah Diniyah adalah Lembaga pendidikan yang mungkin lebih disebut sebagai pendidikan non formal, yang menjadi lembaga pendidikan pendukung dan menjadi pendidikan alternatif.[2] Biasanya jam pelajaran mengambil waktu sore hari, mulai bakda ashar hingga maghrib. Atau, memulai bakda isya’ hingga sekitar jam sembilan malam. Lembaga pendidikan Islam ini tidak terlalu perhatian pada hal yang bersifat formal, tetapi lebih mengedepankan pada isi atau substansi pendidikan.

Madrasah Diniyah adalah Madrasah yang seluruh mata pelajrannya bermaterikan ilmu-ilmu Agama, yaitu fikih, tafsir, tauhid, hikmahbtasyri’, adabh (akhlak), hadits, nahwu, sharaf, ushul fikih dan olmu-ilmu lainnya.[3] hal ini membuat santri Madrasah Diniyah benar-benar mampu menguasai ilmu-ilmu Agama karena tidak terlalu dituntut untuk mengejar kurikulum yang sudah ditargetkan, malainkan belajar dengan cara penguasaan materi bukan mengejar target pokok bahasan yang telah ditentukan.

Sebenarnya Madrasah Diniyah lahir dari ketidak puasan sebagian tokoh terhadap sistem pendidikan Pesantren, sehingga mereka mencoba untuk membuat lembaga pendidikan yang sedikit lain dengan Pesantren. Melalui organisai-organisasi sosial kemasyarakatan mereka mulai mendirikan lembaga pendidikan misalnya organisasi Muhammadiyah, Persatuan Muslim Indonesia (Permi), Diniyah, Thawalib, Pendidikan Islam Indonesia (PII), dan sejumlah sekolah-sekolah yang tidak berafiliasi kepada organisasi apapun.[4]

Sudah menjadi kebiasaan bagi anak-anak desa, selain masuk sekolah dasar juga melengkapinya dengan sekolah Agama. Pagi hari anak-anak masuk Sekolah Dasar sedangkan sore hari atau malam hari belajar di Madrasah Diniyah, sebagai salah satu sarana untuk memperdalam pengetahuan Agama, karena pada dasarnya pendidikan itu secara garis besarnya terdiri dari tiga bagian yaitu, pendidikan oleh dirinya sendiri, kegiatan pendidikan oleh lingkungan dan kegiatan oleh orang lain terhadap orang tertentu.[5] Demikian pula tempat pendidikan ada tiga yang pokok, yaitu di dalam rumah, di masyarakat, dan di sekolah.[6] Yah namun sebagian guru-guru ada yang tidak menyukai para muridnya untuk merangkap belajar di Madrasah Diniyah, khawatir mengganggu pelajaran paginya di sekolah. Sikap guru tersebut tidak berani disampaikan secara terbuka, khawatir mendapatkan reaksi negative dari para pemuka Agama.

Madrasah Diniyah diselenggarakan oleh tokoh Agama di desa. Biasanya memanfaatkan rumah pribadi mereka atau mengambil tempat di sebagian serambi masjid. Puluhan anak secara bersama-sama diajar di tempat itu. Para siswa juga tidak dipungut biaya. Guru yang mengajar di Madrasah juga tidak dibayar apa-apa. Semua dijalani secara ikhlas untuk mengembangkan lembaga pendidikan Islam.

Anak-anak desa berhasil mampu membaca al Qur’an biasanya melalui lembaga pendidikan seperti ini. Para santri diajari mulai dari mengenal huruf arab, belajar tajwid, nahwu dan shorof. Kebanyakan anak desa, terutama putra-putri kaum santri, didorong oleh orang tuanya belajar Agama sore hari di, lembaga pendidikan tersebut. Berbeda dengan pendidikan Agama pada sekolah formal seperti MI, MTs, MA dan PTAI yang harus dilakukan sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan oleh Kementerian Agama dalam berbagai aspek misalnya kurikulum, akreditasi, supervisi dan ujian.[7] Dengan adanya lembaga pendidikan Agama seperti Madrasah Diniyah ini, tidak menjadikan banyak orang mengeluh tentang terbatasnya jumlah jam pelajaran Agama di sekolah. Berapapun jumlah jam pelajaran Agama di sekolah umum (sekolah dasar), tidak pernah dipersoalkan para siswa sudah mengikuti pendidikan di Madrasah Diniyah ini.

Para tokoh Agama menganggap pendidikan Diniyah tersebut sedemikian penting, sehingga mereka menyelenggarakan Madrasah Diniyah di sore hari bagi seluruh siswa sebuah sekolah. Di sore hari gedung sekolah dasar digunakan untuk Madrasah Diniyah. Sedangkan para muridnya adalah sekaligus juga siswa sekolah dasar itu. Melalui cara ini, tidak pernah dikeluhkan oleh masyarakat tentang kekurangan jam pelajaran Agama bagi para siswa sekolah umum, bahkan masa sekarang ini pendidikan Madrasah Diniyah sudah merambah ke berbagai golongan di masyarakat.

Dalam perkembangan selanjutnya, para tokoh Agama merintis bentuk lembaga pendidikan yang dianggap lebih sempurna, yaitu berupa Madrasah Ibtidaiyah untuk tingkat dasar, Madrasah Tsanawiyah untuk tingkat menengah pertama dan Madrasah Aliyah untuk Tingkat atas atau setara SMU.[8] Di pedesaan sejak akhir tahun 1960 an banyak berdiri Madrasah Ibtidaiyah. Para tokoh Agama dengan kekuatan yang dimiliki berusaha mendirikan jenis lembaga pendidikan tersebut, sehingga di mana-mana muncul Madrasah ibtidaiyah. Kebanyakan Madrasah Ibtidaiyah didirikan dan difasilitasi oleh masyarakat sendiri, atau berstatus swasta. Sudah barang tentu keadaan lembaga pendidikan Islam tersebut sangat sederhana, baik dari aspek ketersediaan fasilitas pendidikannya maupun juga ketenagaannya. Lembaga pendidikan ini sebenarnya adalah sebagai wujud perbaikan sistem pendidikan masyarakat yang memang masih bingung dengaan sestem pendidikan mana yang paling tepat, efektif dan efesien.

Dengan semakin maraknya pertumbuhan lembag-lembaga pendidikan Agama yang diakui oleh lembaga kepemerintahan dalam hal ini Kementerian Agama (Departemen Agama. red), pertumbuhan lembaga pendidikan Agama yang bersifat tradisional sampai lembaga pendidikan Agama mulai kurang diperhatikan. Sungguh pun begitu, ada fenomena yang menarik dalam dunia pendidikan kita, khususnya berkaitan dengan pesantern dan Madrasah Diniah. Seperti diketahui bahwa pertumbuhan Madrasah yang menganut yang menganut sistem pendidikan Nasional kian bertambah dan kian maju dengan pesatnyadari waktu ke waktu. Namun ada yang manarik pula bahwa pertumbuhan itu dibarengi dengan makin banyaknya Madrasah-Madrasah Diniyah, yaitu Madrasah yang keseluruhan mata pelajarannya adalah mata pelajaran Agama ataupun kalau ditambah dengan mata pelajaran umum, maka prosentasenya sangat sedikit. [9] Dapat dipahami bahwa pertumbuhan Madrasah Diniyah, yang menurut survey pada tahun 1999, jumlahnya berkisar 22.000 buah mengekspresikan tuntutan aspirasi pendidikan Agama lebih banyak. Mereka umumnya bahwa pelajaran dan pendidikan Agama di sekolah-sekolah umum atau Pesantren-Pesantren yang menganut kurikulum pendidikan Nasional belum cukup.[10]

Munculnya lembaga pendidikan Islam (Madrasah Diniyah) ini disambut baik oleh masyarakat pada umumnya. Bentuk lembaga pendidikan Islam ini dianggap ideal, karena melalui lembaga pendidikan tersebut mengajarkan ilmu Agama sementara ilmu umum sudah didapati di sekolah-sekolah umum. Memang model lembaga pendidikan seperti itu yang diinginkan oleh masyarakat, terutama kaum santri, sehingga kehadiran Madrasah Diniyah mendapat sambutan yang sangat positif dari masyarakat.

Dalam kondisi seperti ini, maka keberadaan Madrasah-Madrasah Diniyah di beberapa lembaga pendidikan yang terintegrasai pada Pesantren menjadi benteng untuk mempertahankan tradisi Pesantren dalam mempertahankan tradisi/paradigmanya terhadap penguasaan “kitab kuning” sebagai ciri pokok Pesantren[11] yang mengintegrasikan pendidikan Madrasah Diniyah dalam satu wadah/sistem pendidikanya.

Memang bagi lembaga pendidikan Pesantren seyogyanya harus memulai melakukan penyadaran diri untuk turut mengikuti perkembangan sosial masyarakat yang akhir-akhir ini mulai cenderung untuk memilih pendidikan yang menuju ke arah modern. Dalam hal ini, untuk mempertahankan kekhususannya maka Madrasah-Madrasah Diniyah dijadikan sebagai lembaga pendidikan pendukung yang menjadi alternatif. Hanya saja hal tersebut memang memerlukan pengaturan waktu (time managerial), yang cermat.[12]

Masyarakat pedesaan yang kala itu masih melihat sesuatu dari aspek simboliknya, maka pendidikan Madrasah Diniyah dianggap sudah ideal, sekalipun tidak didukung oleh tenaga yang berkualitas serta sarana dan prasarana yang memadai. Bagi mereka yang terpenting bernama Madrasah. Kualitas bagi mereka selalu terkait dengan symbol itu, yakni berupa nama yang melekat pada lembaga pendidikan dimaksud. Tidak sebagaimana Madrasah Diniyah yang hampir semuanya gratis, sekalipun masih terbatas jumlahnya masyarakat sudah mau ikut membiayai operasional Madrasah dengan membayar uang syari’ah (SPP).[13]

Namun ada sesuatu yang memilukan, dengan lahirnya sistem pendidikan Agama Madrasah Ibtidaiyah, sebagian masasyarakat tidak selalu memilih lembaga pendidikan Madrasah Ibtidaiyah bagi anak-anak mereka. Masih banyak anak-anak santri yang masuk di sekolah dasar. Dengan hilangnya Madrasah Diniyah ini, maka para siswa SD tidak lagi bisa menambah pelajaran Agama di sore hari sebagaimana yang dulu-dulu. Anak-anak Sekolah Dasar, akhirnya mencukupkan pelajaran Agama yang diberikan di sekolah mereka masing-masing.

Akhir-akhir ini, sekalipun status Madrasah menjadi kuat, yaitu masuk dalam system pendidikan nasional, namun masih muncul berbagai penilaian, misalnya bahwa kualitas Madrasah ternyata tertinggal dibanding dengan sekolah umum. Penilaian semacam itu sesungguhnya jika kita mau berpikir jernih tidak adil. Sebab, yang dibandingkan hanyalah prestasi bidang mata pelajaran tertentu yang diujikan secara nasional. Padahal jika yang dibandingkan adalah mata pelajaran Agama, maka jelas Madrasah lebih unggul. Selain itu, membandingkannya juga tidak tepat. Sekolah dasar milik pemerintah seluruh kebutuhannya, guru, buku, sarana dan prasarana lainnya dipenuhi, sedangkan Madrasah tidak. Perlakuan terhadap keduanya yang tidak sama itu, maka semestinya sangatlah tidak tepat dibandingkan hasilnya membandingkan dengan cara seperti itu mestinya dihindari, sebab menjadi tidak adil.

Tetapi anehnya, para pejabat yang memiliki otoritas mengelola Madrasah juga ikut-ikutan menyuarakan hal yang tidak semestinya itu. Mereka juga ikut mengatakan bahwa Madrasah selama ini tertinggal, dan kualitasnya rendah. Akibatnya, citra Madrasah sebagai lembaga pendidikan yang berkualitas rendah, tertanam di masyarakat. Sekalipun rendahnya citra itu, ternyata juga tidak mengurangi semangat masyarakat mempercayai Madrasah sebagai lembaga pendidikan yang dianggap lebih baik dan mencukupi.

Akhir-akhir ini, Madrasah di berbagai tingkatannya, Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah, sudah mulai mendapatkan perhatian dari pemerintah. Selain beberapa di antaranya ditingkatkan statusnya, yakni dinegerikan, maka yang masih berstatus swasta pun juga dibantu, seperti gedungnya diperbaiki, dibantu berupa buku pelajaran dan lain-lain, sekalipun masih terbatas jumlahnya. Hanya saja lembaga pendidikan Islam yang berupa Madrasah Diniyah, rupanya belum mendapatkan cukup perhatian. Padahal, sebenarnya lembaga pendidikan jenis ini keberadaannya sangat penting, sebagai pelengkap atau menambal dari kekurangan yang dialami oleh sekolah umum.

Dulu, Madrasah Diniyah ini di beberapa tempat ternyata hasilnya cukup baik. Karena dibina oleh orang-orang yang ikhlas, dan sifatnya tidak terlalu formal para santrinya tidak sebatas mengejar ijazah atau sertifikat, maka menurut informasi dari beberapa sumber, tidak sedikit santri Madrasah Diniyah mampu memahami kitab kuning. Padahal sementara itu, lulusan perguruan tinggi Agama Islam, belum tentu mampu. Kegagalan itu, mungkin karena niat mereka kurang ikhlas, tidak sungguh-sungguh dan apalagi masih ditambah kelemahan lainnya, yakni mereka kuliah hanya bersifat formalitas untuk mendapatkan ijazah. Wallahu a’lam.

2. Madrasah Diniyah Sebagai Pendidikan Berbasis Masyarakat

Pendidikan adalah tanggungjawab bersama antara keluarga, pemerintah dan masyarakat. Keluarga adalah lembaga pertama dan utama bagi pembentukan nilai-nilai dan karakter manusia (habitual formation), pemerintah dengan fasilitas sekolah meneruskan nilai-nilai dan karakter yang dibangun di lingkungan keluarga sebagai pendidikan kedua, dan dilanjutkan dengan kehidupan di masyarakat yang juga bertanggung jawab dalam pembentukan moral anak. Ketiga lembaga yang dimaksud oleh Ki Hajar Dewantara sering disebut Tricentra Pendidikan.[14] Namun demikian, aktualisasi pemeransertaan, terutama antara sekolah dengan masyarakat tersebut masih sangat variatif antar daerah dan antar satuan-satuan pendidikan. Keberagaman tersebut terutama disebabkan oleh paradigma pembangunan pendidikan yang selama ini diberlakukan, yang kemudian mempengaruhi perilaku birokratnya.

Pembangunan, tidak terkecuali pembangunan pendidikan, direncanakan dengan pendekatan mechanistic planning model atau engineering model yang memposisikan masyarakat sebagai obyek dari sebuah blue print perubahan yang berasal dari atas.[15] Dengan paradigma ini, maka pemeransertaan masyarakat identik dengan memaksa masyarakat untuk mengerti dan mengikuti kemauan birokrat pendidikan dan membantu keberhasilan implementasi kemauan tersebut. Pola pendekatan ini makin diperparah oleh masih melekatnya budaya feodal yaitu sikap paternalistik dan hubungan patron klien. Dengan sikap paternalistik, hubungan antara birokrat dan masyarakat diposisikan sebagai hubungan vertikal dari atas, sedang pola hubungan patron klien memposisikan sebagai hubungan bapak-anak. Ada keniscayaan bagi anak untuk menerima dan menghormati setiap keputusan yang dikatakan oleh bapak yang akan selalu bersikap menggurui dan mengendalikan anak.

Paradigma berikutnya adalah yang menyangkut pemahaman tentang partisipasi itu sendiri, yang sesungguhnya merupakan akibat logis dari paradigma yang pertama. Paradigma demikian memposisikan masyarakat atau institusi kemasyarakatan sebagai subordinasi dari birokrasi pemerintah yang hanya menjadi penerima pasif program dan berpartisipasi sesuai dengan “ kapling “ yang disediakan oleh pemerintah.

Terlepas dari paradigma-paradigma di atas, pendidikan dengan berbasis pada masyarakat adalah proses human action planning model yaitu model yang menekankan pada upaya untuk mensistematisasikan aspirasi pembangunan yang ada dalam masyarakat dan menyusunnya menjadi sebuah dokumen perencanaan atau kebijakan. Konsekuensinya adalah keputusan tentang pembangunan pendidikan adalah hasil kesepakatan bersama antara birokrasi dan masyarakat. Proses pembangunan pun seharusnya menerapkan prinsip people-centered development.[16]

Partisipasi ditafsirkan sebagai kerja sama antara rakyat dengan pemerintah dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan dan mengembangkan hasil pembangunan. Sebagai sebuah kerja sama, maka masyarakat diasumsikan mempunyai aspirasi, nilai dan budaya yang perlu diakomodasikan dalam proses perencanaan dan pelaksanaan suatu program. Pendidikan harus berlangsung dari, oleh dan bersama masyarakat.[17] Pendidikan dari masyarakat artinya memberikan jawaban terhadap kebutuhan (needs) masyarakat, oleh masyarakat berarti masyarakat bukan obyek pendidikan, tetapi berpartisipasi aktif dimana masyarakat mempunyai peranan dalam setiap langkah program pendidikannya, prinsip bersama masyarakat berarti, masyarakat diikutsertakan dalam semua program yang telah mendapatkan persetujuan masyarakat, karena lahir dari kebutuhan nyata masyarakat itu sendiri. Inilah yang sekarang sering disebut sebagai pendidikan berbasis masyarakat (community- based education).

Pengertian tentang berbasis dapat menunjuk pada derajat kepemilikan masyarakat. Secara gamblang dapat dikatakan bahwa apabila sesuatu berbasis masyarakat, maka hal itu sepenuhnya menjadi milik masyarakat. Kepemilikan mengimplikasikan adanya pengendalian secara penuh terhadap pengambilan keputusan. Kepemilikan penuh berarti bahwa masyarakat memutuskan tujuan dan sasaran, pembiayaan, kurikulum, standar dan ujian, guru dan kualifikasinya persyaratan siswa dan sebagainya.[18]

Pendidikan berbasis masyarakat menekankan pentingnya pemahaman akan kebutuhan masyarakat dan cara pemecahan masalah oleh masyarakat dengan menggunakan potensi yang ada di masyarakat. Watson (1991) sebagaimana dikutip oleh Umberto Sihombing dalam makalahnya yang berjudul “Konsep dan Pengembangan Pendidikan Berbasis Masyarakat“ mengemukakan bahwa pendidikan berbasis masyarakat memiliki tiga (3) elemen yaitu :
  • Mementingkan warga belajar sebagai dasar untuk mengembangkan program belajar dan senantiasa memperhatikan kebutuhan belajar masyarakat, karena sebenarnya mereka tahu apa yang mereka butuhkan.
  • Program dimulai dari perspektif yang kritis. Ada tiga perspektif dalam melihat masyarakat yaitu konservatif, liberal dan kritis. Pendidikan berbasis masyarakat menggunakan pendekatan kritis yang menekankan pentingnya perbaikan kemampuan dasar masyarakat, meningkatkan kemampuan yang sudah ada dan partisipasi dalam setiap kegiatan.
  • Pembanguan masyarakat yang menekankan bahwa program belajar harus berlokasi di masyarakat, menjawab kebutuhan masyarakat, menciptakan rasa memiliki, dan program itu dirancang, diputuskan, serta diatur oleh masyarakat sehingga mereka membentuk kesatuan yang lebih besar. [19]
Selanjutnya Brookfield (1987) membandingkan antara pendidikan berbasis masyarakat (community-based education) dengan pendidikan berbasis sekolah (school -based education ), antara lain ditunjukkan bahwa kurikulum pendidikan berbasis masyarakat terintegrasi dengan kehidupan sehari-hari, masalah yang diangkatnya relevan dengan kebutuhan masyarakat, urutan pembelajarannya tergantung warga belajar, waktunnya belajar fleksibel, menggunakan pendekatan andragogi, biasanya tidak mengutamakan ijazah. Sementara kurikulum pendidikan berbasis sekolah tergantung pada pokok bahasan, urutan pelajarannya sudah diatur, waktu belajarnya tidak fleksibel, menggunakan terminologi paedagogis dan mengutamakan ijazah.[20]

Dari sini jelas terlihat bahwa sebenarnya Madrasah Diniyah sebagai pendidikan berbasis masyarakat bukanlah hal yang baru untuk bangsa Indonesia. Model pendidikan ini sudah ada bahkan jauh sejak sebelum Indonesia merdeka. Hanya saja selama ini menganggap hal itu biasa walaupun lembaga pendidikan itu sudah tumbuh dan berkembang lama di masyarakat. Munculnya Madrasah Diniyah dan Pesantren biasanya dimotori oleh masyarakat setempat yang memiliki komitmen tinggi terhadap pendidikan dan Agama.

Kini dalam dunia pendidikan yang kian demokratis, manajemen pendidikan yang efisien dan efektif memberikan tempat yang seluas-luasnya bagi partisipasi masyarakat. Karena jika tidak demikian, maka lembaga pendidikan akan terasing dari pengabdiannya bagi kebutuhan masyarakat nyata. Sistem pendidikan Pesantren, Madrasah Diniyah dan lembaga-lembaga pendidikan keagamaan yang muncul di tengah-tengah masyarakat pada dasarnya merupakan wujud dari pendidikan indigenous yaitu pendidikan yang lahir dari kebutuhan dan untuk masyarakat, dimana lembaga itu hidup. Tidak mengherankan pendidikan modern oleh Paulo Freire dikatakan sebagai lembaga-lembaga tirani yang mematikan inisiatif karena antara lain hilangnya partisipasi masyarakat di dalam pengelolaannya.


3. Manajeman dan Model Pendidikan Madrasah Diniyah

a. Urgensi Managemen Pendidikan Madrasah Diniyah

Meskipun Madrasah Diniyah bukanlah lembaga pendidikan formal yang mengikuti kurikulum Nasional yang telah ditetapkan Oleh Dinas Pendidikan Nasional maupun Kementerian Agama, namun itu tidak berarti bahwa dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar tidak memerlukan manageman, manageman dibutuhkan oleh seluruh organisasi, karena tanpa managemen semua usaha akan sia-sia dan pencapaian tujuan oeranisasi akan lebih sulit mencapai kesempurnaan.

Pada hakikatnya tujuan didirikannya lembaga pendidikan Madrasah Diniyah adalah untuk memberikan ilmu-ilmu Agama yang cukup kepada para santri Madrasah Diniyah. Eksistensi Madrasah Diniyah sangat dibutuhkan ketika lulusan Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan formal (sistem kurkulum Nasional) ternyata kurang mumpuni dalam penguasaan ilmu Agama. Dengan kenyataan itu, maka keberadaan Madrasah Diniyah menjadi sangat penting, sebagai penopang dan pendukung pendidikan formal yang ada.[21] Karenanya tidak berlebihan bila kegiatan belajar mengajar dilaksanakan di Madrasah Diniyah perlu dimanaj dengan sebaik-baiknya.

Ada tiga alasan utama diperlukannya manageman pendidikan untuk Madrasah Diniyah yaitu:

  • Untuk mencapai tujuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Madrasah Diniyah, yakni memberikan pembekalan ilmu-ilmu Agama yang cukup kepada para santri, dalam upaya mempersiapkan lahirnya santri-santri yang matangdalam penguasaan ilmu-ilmu Agama. Kebutuhan terhadap manageman untuk Madrasah Diniyah ini terasa semakin mendesak, mengingat posisinya sebagai lembaga pendidikan pendukung bagi sistem pendidikan formal yang dilaksanakan Pesantren.
  • Untuk menjaga keseimbangan sekaligus memfokuskan tujuan-tujuan yang ingin dicapai dalam proses pendidikan yang terjadi dalam Madrasah Diniyah.
  • Untuk mencapai efesiensi dan efektifitas, bagaimanapun setiap kegiatan yang dilaksanakan dengan menafikan unsur-unsur manageman, maka kegiatan itu tidak akan efektif dan efesien.[22] 

b. Aplikasi Manageman Waktu di Madrasah Diniyah

Meskipun Madrasah Diniyah adalah lembaga pendidikan yang mempunyai waktu yang cukup representatif untuk penyampaian materi-materi Agama, namun sebagaimana lazimnya lembaga-lembaga pendidikan lain, Madrasah Diniyahpun perlu pengaturan waktu, terutama untuk kegiatan belajar mengajar yang dilaksanakannya.

Pada prinsipnya beberapa tahapan yang dapat ditempuh oleh Madrasah Diniyah dalam penerapan manageman waktu misalnya:
  • Mencermati dan menjabarkan kalender pendidikan, sampai ditemukan hari-hari efektif dan dan tidak efektif sesuai dengan tipe Madrasah Diniyah Tersebut.
  • Dengan jumlah waktu efektif dan tidak efektif, dapat ditentukan dasar penyusunan program dan rensan belajar mengajar di Madrasah Diniyah.
  • Dengan rencana program tersebut, selanjutnya dibuat rancangan waktu pendidikan Madrasah Diniyah yang komperehensif yang menyangkut seluruh aspek kegiatan.
  • Kegiatan non-pendidikan dapat dilakukan di luar jam efektif Madrasah Diniyah.[23]

c. Model Pendidikan Madrasah Diniyah.

Peran vital Madrasah Diniyah bagi masyrakat haruslah tetap dijaga sampai kapanpun, hal tersebut dapat diperoleh jika model pendidikannya dapat diterima oleh masyarakat. Salah satu solusinya adalah dengan mengintergasikan Madrasah Diniyah ini kedalam lembaga pendidikan pesantren atau lembaga pendidikan formal seperti MIN, MTs, dan MA.

Ada banyak langkah yang bisa ditempuh untuk mewujudkan model pendidikan Madrasah Diniyah yang ideal antara lain:

1) Integralisasi pendidikan Madrasah Diniyah dengan sistem pendidikan formal pondok pesantren
2) Penerapan manageman pendidikan secara baik dan benar
3) Sistem pembelajaran dilaksanakan harus dengan mengacu pada kurikulum.
4) Melengkapi Madrasah Diniyah dengan media pendidikan yang sesuai.[24]


C. KESIMPULAN

pendidikan Agama yang diperoleh anak di sekolah-sekolah umum masih kurang. Alokasi waktu untuk anak memperoleh stimulus Agama kurang lebih hanya 2x 40 menit/minggu. Walaupun di sekolah terdapat kegiatan ekstra di bidang keagamaan, siswa yang berminat hanya sedikit. Inovasi dibentuk, semangat usaha dari perorangan maupun organisasi menggagas adanya Madrasah Diniyah. Madrasah Diniyah merupakan lembaga informal, yang waktu pelaksanaan kegiatannya di luar jam sekolah. Siswanya tidak dibatasi dari sekolah manapun. Mengingat masa usia sekolah (usia 5-13 tahun) merupakan masa penting anak dalam perkembangan, maka didirikan Madrasah Diniyah Awaliyah, Departemen Agama sebagai fasilitator lembaga.

Melihat fenomena masyarakat yang tertera di atas, tampak jelas bahwa masyarakat membutuhkan stimulus Agama yang lebih, terutama pada anak-anak. Oleh karenanya tercipta inovasi pendidikan informal Madrasah Diniyah Awaliyah. Dengan ini, peneliti mencoba untuk meneliti adakah pengaruh pendidikan Madrasah Diniyah Awaliyah terhadap sikap beragama siswa.